Minggu, 11 Desember 2011

Emas


Emas adalah unsur kimia dlm tabel periodik yang memiliki simbol Au (bahasa Latin: 'aurum') dan nomor atom 79. Sebuah logam transisi (trivalen dan univalen) yang lembek, mengkilap, kuning, berat, "malleable", dan "ductile". Emas tidak bereaksi dengan zat kimia lainnya tapi terserang oleh klorin, fluorin dan aqua regia. Logam ini banyak terdapat di nugget emas atau serbuk di bebatuan dan di deposit alluvial dan salah satu logam coinage. Kode ISOnya adalah XAU. Emas melebur dalam bentuk cair pada suhu sekitar 1000 derajat celcius.
Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya berkisar antara 2,5 – 3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Mineral pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals). Mineral ikutan tersebut umumnya kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar, dan sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi. Mineral pembawa emas terdiri dari emas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan dan senyawa emas dengan unsur-unsur belerang, antimon, dan selenium. Elektrum sebenarnya jenis lain dari emas nativ, hanya kandungan perak di dalamnya >20%.
Emas terbentuk dari proses magmatisme atau pengkonsentrasian di permukaan. Beberapa endapan terbentuk karena proses metasomatisme kontak dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara mekanis menghasilkan endapan letakan (placer). Genesa emas dikatagorikan menjadi dua yaitu:
  • Endapan primer; dan
  • Endapan plaser.

http://bits.wikimedia.org/skins-1.17/common/images/magnify-clip.png
Emas moneter sebagai jaminan mata uang yang pernah dipakai oleh Bank Indonesia
Emas digunakan sebagai standar keuangan di banyak negara dan juga digunakan sebagai perhiasan, dan elektronik. Penggunaan emas dalam bidang moneter dan keuangan berdasarkan nilai moneter absolut dari emas itu sendiri terhadap berbagai mata uang di seluruh dunia, meskipun secara resmi di bursa komoditas dunia, harga emas dicantumkan dalam mata uang dolar Amerika. Bentuk penggunaan emas dalam bidang moneter lazimnya berupa bulion atau batangan emas dalam berbagai satuan berat gram sampai kilogram.
Koin emas
Emas juga diperdagangkan dalam bentuk koin emas, seperti Krugerrand yang diproduksi oleh South African Mint Company dalam berbagai satuan berat. Satuan berat krugerrand yang umum ditemui adalah 1/10 oz (ounce), 1/4 oz, 1/2 oz dan 1 oz. Harga koin krugerrand didasarkan pada pergerakan harga emas di pasar komoditas dunia yang bergerak terus sepanjang masa perdagangan. Koin Krugerrand khusus (atau biasa disebut proof collector edition) juga diproduksi secara terbatas sesuai dengan tema tertentu. Karena diproduksi terbatas, sering kali harga koin krugerrand edisi proof ini melebihi harga kandungan emas koin tersebut tergantung pada kelangkaan dan kondisi koin khusus ini. Edisi yang cukup digemari dan dicari para investor adalah edisi yang memuat gambar Nelson Mandela.
Terdapat beberapa negara yang memproduksi secara massal koin emas untuk ditawarkan sebagai alternatif investasi, antara lain:
  1. Australia - kangaroo
  2. China - panda
  3. Malaysia - kijang emas
  4. Canada - maple leaf
  5. Inggris - Britannia
  6. Amerika Serikat - eagle dan buffalo
  7. Afrika Selatan - Krugerrand
  8. New Zealand - kiwi
  9. Singapore - lion
  10. Austria - philharmonic
Endapan emas di Indonesia
Potensi endapan emas terdapat di hampir setiap daerah di Indonesia, seperti di Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Ekstraksi Emas
Amalgamasi
Amalgamasi adalah proses penyelaputan partikel emas oleh air raksa dan membentuk amalgam (Au – Hg). Amalgam masih merupakan proses ekstraksi emas yang paling sederhana dan murah, akan tetapi proses efektif untuk bijih emas yang berkadar tinggi dan mempunyai ukuran butir kasar (> 74 mikron) dan dalam membentuk emas murni yang bebas (free native gold).
Proses amalgamasi merupakan proses kimia fisika, apabila amalgamnya dipanaskan, maka akan terurai menjadi elemen-elemen yaitu air raksa dan bullion emas. Amalgam dapat terurai dengan pemanasan di dalam sebuah retort, air raksanya akan menguap dan dapat diperoleh kembali dari kondensasi uap air raksa tersebut. Sementara Au-Ag tetap tertinggal di dalam retort sebagai logam.
Sianidasi
Proses Sianidasi terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan dan proses pemisahan emas dari larutannya. Pelarut yang biasa digunakan dalam proses cyanidasi adalah NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau campuran ketiganya. Pelarut yang paling sering digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya. Secara umum reaksi pelarutan Au dan Ag adalah sebagai berikut:

4Au + 8CN- + O2 + 2 H2O = 4Au(CN)2- + 4OH-
4Ag + 8CN- + O2 + 2 H2O = 4Ag(CN)2- + 4OH-

Pada tahap kedua yakni pemisahan logam emas dari larutannya dilakukan dengan pengendapan dengan menggunakan serbuk Zn (Zinc precipitation). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

2 Zn + 2 NaAu(CN)2 + 4 NaCN +2 H2O = 2 Au + 2 NaOH + 2 Na2Zn(CN)4 + H2
2 Zn + 2 NaAg(CN)2 + 4 NaCN +2 H2O = 2 Ag + 2 NaOH + 2 Na2Zn(CN)4 + H2

Penggunaan serbuk Zn merupakan salah satu cara yang efektif untuk larutan yang mengandung konsentrasi emas kecil. Serbuk Zn yang ditambahkan kedalam larutan akan mengendapkan logam emas dan perak. Prinsip pengendapan ini mendasarkan deret Clenel, yang disusun berdasarkan perbedaan urutan aktivitas elektro kimia dari logam-logam dalam larutan cyanide, yaitu Mg, Al, Zn, Cu, Au, Ag, Hg, Pb, Fe, Pt. setiap logam yang berada disebelah kiri dari ikatan kompleks sianidanya dapat mengendapkan logam yang digantikannya. Jadi sebenarnya tidak hanya Zn yang dapat mendesak Au dan Ag, tetapi Cu maupun Al dapat juga dipakai, tetapi karena harganya lebih mahal maka lebih baik menggunakan Zn. Proses pengambilan emas-perak dari larutan kaya dengan menggunakan serbuk Zn ini disebut “Proses Merill Crowe”.
Proses pemisahan Emas dari konsentrat
Cara memisahkan konsentrat yang di dalamnya ada kandungan Emas, Perak, Tembaga dll. Konsentrat ini wujudnya seperti pasir.

Proses ini memakai 3 jenis furnace.
(1) Smelting Furnace,
(2) Slag cleaning Furnace,
(3) Converting Furnace
, lalu masuk ke pembentuk anoda Cu (diesbut anoda furnace) lalu dicetak bentuknya batangan anoda Cu.
Proses pertama :
(1) Smelting Furnace, konsetrat yang dihasilkan oleh temen kita di freeport akan dilebur, disini sudah ditambahkan flux SiO2 dan dihembus udara (biasanya udara bebas dengan kompresor diatur oksigennya 60%). Tujuannya untuk mengoksidasi unsur pengotor utama berupa Fe (oksidasi jadi FeO, Fe3O4) dan mulai kurangi sulfur dalam konsentrat (jadi SO2), lalu masuk furnace no (2)

(2) Slag Cleaning, sesuai namanya disini leburan Cu (masih dibilang Matte) kerena Sulfur masih banyak akan dipisahkan dengan terak/slag yang terbentuk dari proses (1). disini pakai Electric arc furnace, jadi matte yang lebih berat akan dibawah lalu terak/slag akan mengapung diatas sambil terus dipanaskan, disini metal/slag sudah terpisah. Lanjut ke proses (3) untuk menghilangkan Sulfur.

(3) Converting Furnace, disini matte diblowing udara lagi ces + pakai flux batukapur (CaCO3), disini tujuan utamanya untuk mengoksidasi Sulfur, memakai kapur untuk menjaga komposisi slag (biar tidak kental, Fe3O4 solid tidak bisa diblowing).

Setelah dari no.(3) Sulfur sudah low (0.8%) disebut cooper blister (bukan lagi matte). lalu dilanjut ke Furnace untuk cetak anoda Cu blister (sebab perlu elektrowining untuk tahap selanjutnya), dibeberapa proses ada tambahan proses pemurnian untuk dioksidasikan S sampai "light". Setelah dicetak jadi anoda, Cu anoda akan benar-benar dimurnikan (pengotor S, Au, Ag, Pt, Co, Ni) masih ada dan harus dielektrowining. Katodanya biasanya steel. Pakai larutan CuSulfat + Asam Sulfat + air, jangan lupa arus harus searah, disini metal akan dipisahkan dengan perbedaan sifat kemurniannya (berdasarkan nilai E nol-nya) makanya perlu memakai voltase DC yang tepat, biasanya Cu di (+)0.34V. Nah disini Cu di anode akan larut dilarutan lalu akan menempel di katoda (puritynya bisa mencapai 99%); nah disini baru dibagi antara Cu dan logam yang lebih mulia (Platina, Au, Ag). karena lebih mulia mereka tidak ikut larut, tetapi biasanya membentuk endapan (disebut slime), slime biasanya tidak ikut menempel di katoda (karena tidak larut). Selanjutnya slime ini yang harus diolah lagi. Slime harus dilebur lagi, lalu ++ flux lagi, borax biasanya untuk ikat pengotor. Setelah cair digunakan metode Klorifikasi, dimana akan dipisahkan antara pengotor dengan logam mulia AgCl, AuCl, dll.
Bagaimana memisahkannya ?, masuk lagi ke elektrowining cell dimana tegangannya diatur untuk memisahkan logam mulia didalamnya, lalu dilebur lagi untuk mendapatkan purity sampai Au 99.99 %.

Proses Pengolahan Emas dengan Sianida

Sianidasi Emas (juga dikenal sebagai proses sianida atau proses MacArthur-Forrest) adalah teknik metalurgi untuk mengekstraksi emas dari bijih kadar rendah dengan mengubah emas ke kompleks koordinasi yang larut dalam air. Ini adalah proses yang paling umum digunakan untuk ekstraksi emas. Produksi reagen untuk pengolahan mineral untuk memulihkan emas, tembaga, seng dan perak mewakili sekitar 13% dari konsumsi sianida secara global, dengan 87% sisa sianida yang digunakan dalam proses industri lainnya seperti plastik, perekat, dan pestisida. Karena sifat yang sangat beracun dari sianida, proses ini kontroversial dan penggunaannya dilarang di sejumlah negara dan wilayah.

Pada tahun 1783 Carl Wilhelm Scheele menemukan bahwa emas dilarutkan dalam larutan mengandung air dari sianida. Ia sebelumnya menemukan garam sianida. Melalui karya Bagration (1844), Elsner (1846), dan Faraday (1847), dipastikan bahwa setiap atom emas membutuhkan dua sianida, yaitu stoikiometri senyawa larut. Sianida tidak diterapkan untuk ekstraksi bijih emas sampai 1887, ketika Proses MacArthur-Forrest dikembangkan di Glasgow, Skotlandia oleh John Stewart MacArthur, didanai oleh saudara Dr Robert dan Dr William Forrest. Pada tahun 1896 Bodländer dikonfirmasi oksigen yang diperlukan, sesuatu yang diragukan oleh MacArthur, dan menemukan bahwa hidrogen peroksida dibentuk sebagai perantara.

Reaksi kimia untuk pelepasan emas, "Persamaan Elsner", berikut:

    4 Au + 8 NaCN + O2 + 2 H2O → 4 Na [Au (CN) 2] + 4 NaOH

Dalam proses redoks, oksigen menghilangkan empat elektron dari emas bersamaan dengan transfer proton (H +) dari air.

Berikut cara kerja pengolahan Emas dengan Sianida :

Cara Kerja
1. Bahan berupa batuan dihaluskan dengan menggunakan alat grinding sehingga menjadi tepung (mesh + 200).
2. Bahan di masukkan ke dalam tangki bahan, kemudian tambahkan H2O (2/3 dari bahan).
3. Tambahkan Tohor (Kapur) hingga pH mencapai 10,2 – 10,5 dan kemudian tambahkan Nitrate (PbNO3) 0,05 %.
4. Tambahkan Sianid 0.3 % sambil di aduk hingga (t = 48/72h) sambil di jaga pH
larutan (10 – 11) dengan (T = 85°C).
5. Kemudian saring, lalu filtrat di tambahkan karbon (4/1 bagian) dan di aduk hingga (t= 48h), kemudian di saring.
6. Karbon dikeringkan lalu di bakar, hingga menjadi Bullion atau gunakan. (metode 1)
7. Metode Merill Crow (dengan penambahan Zink Anode / Zink Dass), saring lalu
dimurnikan / dibakar hingga menjadi Bullion. (metode 2)
8. Karbon di hilangkan dari kandungan lain dengan Asam (3 / 5 %), selama (t =30/45m), kemudian di bilas dengan H2O selama (t = 2j) pada (T = 80°C – 90°C).
9. Lakukan proses Pretreatment dengan menggunakan larutan Sianid 3 % dan Soda
(NaOH) 3 % selama (t =15 – 20m) pada (T = 90°C – 100°C).
10. Lakukan proses Recycle Elution dengan menggunakan larutan Sianid 3 % dan Soda
3 % selama (t = 2.5 j) pada (T = 110°C – 120°C).
11. Lakukan proses Water Elution dengan menggunakan larutan H2O pada (T = 110°C –
120°C) selama (t = 1.45j).
12. Lakukan proses Cooling.
13. Saring kemudian lakukan proses elektrowining dengan (V = 3) dan (A = 50) selama
(t = 3.5j). (metode 3)

MENGENAL MEKANISME TERJADINYA GERAKAN TANAH LONGSOR DAN UPAYA ANTISIPASINYA


Pada saat hujan, air hujan akan cenderung mengalir menuju jalur-jalur sungai atau lembah-lembah yang merupakan jalur struktur patahan batuan tadi. Akibatnya tanah lereng pada lembah-lembah sungai tersebut akan lebih jenuh air dibandingkan dengan tanah di bagian lain pada kubah tersebut yang tidak terlewati oleh jalur patahan tadi. Semakin deras hujan akan semakin besar debit air yang terakumulasi ke dalam lereng pada jalur-jalur patahan. Akan tetapi air tersebut tidak dapat meresap lebih dalam lagi ke dalam lereng karena terhalang oleh batuan kubah andesit yang kedap air. Hal ini sangat berbahaya, karena air yang terakumulasi pada jalur lereng-lereng tersebut akan terus menekan butiran-butiran tanah penutup lereng (yaitu tanah lempung pasiran) dan akhirnya dapat mendorong tumpukan tanah tersebut untuk menggelincir (longsor) ke bawah. Karena besarnya akumulasi air yang mendorong longsoran tanah, maka longsoran ini selalu diikuti dengan terjadinya aliran lumpur cepat. Setelah longsorpun sampai hari ini masih terlihat rembesan air yang keluar dari lereng. Hal ini berarti, air masih bekerja menekan lereng, dan longsoran susulan dapat terjadi lagi pada timbunan tanah rombakan longsoran. Oleh karena itu sangat penting untuk menjauhkan manusia dari lereng yang sudah longsor terutama saat hujan (meskipun tidak deras). Disarankan daerah yang sudah longsor ditutup dari kegiatan peninjauan. Sampai hari ini terlihat masih banyak orang berbondong-bondong untuk melihat langsung dari dekat, bahkan menginjakkan kakinya di atas tumpukan tanah yang sudah longsor. Demi keselamatan mereka hal ini harus dicegah.
Jadi ada tiga hal utama penyebab longsoran-longsoran di Purworejo dan Kulon Progo yang keseluruhannya merupakan kondisi alam (bukan faktor manusia). Tiga hal tersebut meliputi :
1. Kondisi Geologi, yaitu adanya jalur-jalur patahan dan retakan batuan yang meng-akibatkan kondisi lereng yang miring lebih dari 30 derajat; serta adanya tumpukan tanah lempung pasiran di atas batuan kedap berupa andesit dan breksi andesit.
2. Kondisi hujan deras
3. Sistem hidrologi (tata air) pada kubah Andesit Tua.


MEKANISME TERJADINYA LONGSORAN.
Pada saat hujan, air hujan akan cenderung mengalir menuju jalur-jalur sungai atau lembah-lembah yang merupakan jalur struktur patahan batuan tadi. Akibatnya tanah lereng pada lembah-lembah sungai tersebut akan lebih jenuh air dibandingkan dengan tanah di bagian lain pada kubah tersebut yang tidak terlewati oleh jalur patahan tadi. Semakin deras hujan akan semakin besar debit air yang terakumulasi ke dalam lereng pada jalur-jalur patahan. Akan tetapi air tersebut tidak dapat meresap lebih dalam lagi ke dalam lereng karena terhalang oleh batuan kubah andesit yang kedap air. Hal ini sangat berbahaya, karena air yang terakumulasi pada jalur lereng-lereng tersebut akan terus menekan butiran-butiran tanah penutup lereng (yaitu tanah lempung pasiran) dan akhirnya dapat mendorong tumpukan tanah tersebut untuk menggelincir (longsor) ke bawah. Karena besarnya akumulasi air yang mendorong longsoran tanah, maka longsoran ini selalu diikuti dengan terjadinya aliran lumpur cepat. Setelah longsorpun sampai hari ini masih terlihat rembesan air yang keluar dari lereng. Hal ini berarti, air masih bekerja menekan lereng, dan longsoran susulan dapat terjadi lagi pada timbunan tanah rombakan longsoran. Oleh karena itu sangat penting untuk menjauhkan manusia dari lereng yang sudah longsor terutama saat hujan (meskipun tidak deras). Disarankan daerah yang sudah longsor ditutup dari kegiatan peninjauan. Sampai hari ini terlihat masih banyak orang berbondong-bondong untuk melihat langsung dari dekat, bahkan menginjakkan kakinya di atas tumpukan tanah yang sudah longsor. Demi keselamatan mereka hal ini harus dicegah.
Jadi ada tiga hal utama penyebab longsoran-longsoran di Purworejo dan Kulon Progo yang keseluruhannya merupakan kondisi alam (bukan faktor manusia). Tiga hal tersebut meliputi :

1. Kondisi Geologi, yaitu adanya jalur-jalur patahan dan retakan batuan yang meng-akibatkan kondisi lereng yang miring lebih dari 30 derajat; serta adanya tumpukan tanah lempung pasiran di atas batuan kedap berupa andesit dan breksi andesit.
2. Kondisi hujan deras
3. Sistem hidrologi (tata air) pada kubah Andesit Tua.

Sistem hidrologi/sistem tata air
Diantara ketiga kondisi alam tersebut kondisi geologi dan hujan deras merupakan sesuatu yang given, kita tidak dapat menolak atau menghindarinya. Satu-satunya kondisi yang dapat dikontrol di sini adalah kondisi hidrologi (sistem tata air) pada kubah Andesit Tua. Kondisi tata air ini pulalah yang paling sensitiv untuk berubah baik dalam dimensi waktu (bahkan dalam satuan menit) ataupun dalam dimensi ruang, sebagai responnya terhadap air hujan yang meresap masuk ke dalam lereng. Hal inilah yang perlu dipikirkan lebih lanjut oleh para pakar atau institusi yang berkompeten dalam hal mengelola sistem tata air di sana. Dengan lebih dipahaminya sistem hidrologi di kubah Andesit Tua, maka akan dapat diprediksi zona-zona dan titik-titik mana saja yang sangat sensitiv untuk segera jenuh air (yang berarti yang rawan terhadap longsoran), serta dapat diprediksi hujan yang bagaimanakah yang merupakan hujan pemicu longsoran. Akhirnya nanti dengan memonitor tingkat kejenuhan air pada zona/titik rawan longsor tersebut dab dengan memonitor curah hujannya, suatu sistem peringatan dini terhadap bencana longsoran dapat ditetapkan. Selain hal tersebut, dapat pula dirancang suatu sistem pengelolaan air dan drainase yang tepat dan sederhana. Kesederhanaan teknologi yang akan ditetapkan sangat perlu. Dengan teknologi sederhana (misal dengan sistem parit gali dan saluran bambu), maka penduduk setempat dapat diberdayakan untuk mengelola dan merawatnya.
Hujan pemicu longsoran.

Secara umum ada dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia, yaitu tipe hujan deras (misalnya mencapai 50 mm hingga 70 mm per hari) dan tipe hujan normal tapi lama.
Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, seperti misalnya pada tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi pada bulan-bulan awal musiim hujan, misalnya akhir Oktober atau awal November.
Sedangkan tipe hujan normal tapi lama akan lebih efektif memicu longsoran pada lereng yang tersusun oleh tanah yang lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah lereng lempung. Pada lereng ini longsoran umumnya terjadi mulai pada pertengahan musim hujan, misal pada bulan Desember hingga Maret.
Beberapa kasus bencana longsor di Kabupaten Garut, tampaknya tipe hujan deras sebagai pemicu longsoran, karena kondisi tanahnya adalah lempung pasiran. Tanah ini saat musim kemarau kering dan mengkerut, sehingga retak-retak. Apabila hujjan turun, tanah akan dengan segera menyerap dan merembeskan air hujan, namun air yang terserap ini kemudian akan terhalang oleh batuan andesit kedap yang mengalasi tanah tersebut. Akibatnya air hanya terjebak dan terakumulasi di atas batuan andesit penyusun lereng, dan akhirnya menekan dan menggelincirkan tanah yang diresapinya.
Dengan diketahuinya tipe hujan pemicu ini nantinya early warning system diharapkan dapat dilaksanakan.
Mitigasi
Dengan memahami fenomena penyebab terjadinya longsoran, Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat telah melakukan pemetaan daerah Rawan Bencana Gerakan Tanah Longsor di Jawa Barat dan sosialisasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota se Jawa Barat serta penduduk setempat di zona rawan longsor tentang cara praktis mengenali zona rawan longsor, tanda-tanda atau gejala-gejala awal longsoran dan bagaimana tindakan emergencynya. Dengan cara ini diharapkan pemerintah Kabupaten/Kota dan penduduk setempat akan lebih memahami alamnya, lebih percaya diri dan berdaya dalam menghadapi ancaman longsoran berikutnya.
Hal penting yang harus diperhatikan semua pihak adalah menutup lokasi yang sudah longsor dari kerumunan massa yang akan meninjau. Meninjau longsoran tidak harus selalu menginjakkan kaki di atas tumpukan tanah yang sudah longsor. Ini dapat berbahaya, karena tanah tersebut masih berupa lumpur dan pada beberapa tempat yang tak terduga dapat merupakan kubangan lumpur yang dalam. Disarankan hanya orang yang berpengalaman saja yang dilengkapi dengan alat pengaman khusus (misalnya tim SAR atau Tim evakuasi korban) yang diperkenankan masuk. Para aparat dan mungkin pejabat dan masyarakat cukup meninjau dari jauh dan tidak berada pada posisi bawah lereng. Lereng-lereng tersebut masih jenuh mengandung air yang bersifat menekan, dan masih potensi untuk longsor lagi.
HIMBAUAN UNTUK ANTISIPASI LONGSORAN SUSULAN
Untuk mencegah bertambahnya korban dan kerugian akibat longsoran susulan, yang diperkirakan akan bermunculan di berbagai tempat/daerah hingga akhir musim hujan nanti, bersama ini dapat diinformasikan untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam hal mencegah dan menghindari bencana longsoran. Informasi yang menyangkut petunjuk praktis dalam mengenali hal-hal seperti :
1. Daerah yang rawan longsor
2. Lereng yang berbakat longsor
3. Gejala awal (indikasi) akan terjadinya longsoran
4. Tindakan praktis yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya longsoran
5. Tindakan emergency untuk menyelamatkan diri dari longsoran.

Mana sajakah daerah yang rawan longsor ?
Daerah-daerah yang terletak di sepanjang lereng Gunung Api umumnya rawan longsor, terutama di bagian lembah. Daerah yang dinilai paling rawan bencana longsor di Jawa Barat terutama berada di daerah Puncak, Sukabumi, Cianjur, Sumedang, Tasikmalaya, dan Padalarang.
Oleh karena itu dapat dihimbau agar masyarakat di daerah-daerah rawan bencana longsor lebih bersiap diri melakukan antisipasi dan mitigasi dini, yaitu dengan mengenali lereng - lereng yang berbakat longsor, gejala awal (indikator) lereng akan longsor, serta tindakan praktis ataupun emergency untuk mencegah dan menghindari longosran.
Bagaimanakah kondisi lereng yang berbakat longsor ?
Lereng yang berbakat longsor umumnya mempunyai salah satu ciri sebagai berikut :
1. merupakan lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah lempung yang tebal
2. merupakan lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah lempung yang menumpang di atas batuan kompak dan keras
3. merupakan lereng yang tersusun oleh perlapisan tanah atau perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng

Yang disebut sebagai tanah lempung yaitu tanah yang apabila dalam kondisi kering bersifat keras, getas dan sering tampak retak-retak, tetapi apabila basah tanah ini segera berubah menjadi licin, lengket dan lunak seperti pasta gigi. Tanah lempung ini dapat berwarna merah kecoklatan, ataupun berwarna abu-abu atau biru dan bersisik saat kering.
Perlu diperhatikan pula lereng yang berbakat longsor tidak harus selalu lereng yang curam. Lereng dengan kemiringan 15 derajat dapat pula longsor apabila tersusun oleh tanah atau batuan dengan salah satu kondisi di atas. Sebaliknya meskipun lereng bersudut curam, tetapi apabila tidak tersusun oleh salah satu dari tiga kriteria struktur tanah di atas, maka lereng tersebut juga tidak akan longsor.
Mengapa lereng dapat longsor saat hujan deras ?
Air hujan yang telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin meningkat debit dan volumenya, dan akibatnya air dalam lereng ini semakin menekan butiran - butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk bergerak longsor. Jadi di sini batuan yang kompak dan kedap air (yang umumnya mengalasi tanah yang gembur) berperan sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung ini maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara gemuruh.
Mengapa longsoran umumnya terjadi pada waktu malam hari saat orang nyenyak tidur ?
Pada prinsipnya tanah tersebut longsor karena terdorong oleh tekanan air dalam lereng. Agar air cukup mempunyai kekuatan untuk melongsorkan, maka air dalam lereng tersebut harus cukup terakumulasi dalam lereng. Pada waktu pagi hingga siang hari umumnya baru terjadi penguapan air permukaan pada sungai-sungai, danau dan laut. Kemudian sekitar pukul dua siang umumnya baru terjadi mendung, sedangkan hujan baru turun setelah mendung pada sore hari. Saat hujan sore hari mulai turun, air dalam lereng belum begitu jenuh, sehingga perlu waktu beberapa saat agar hujan dapat menjenuhkan lereng. Jadi apabila hujan dimulai sore, maka longsoran tanah gembur baru akan terjadi malam hari saat tanah tersebut sudah cukup jenuh.
Apakah hujan yang deras selalu mengakibatkan longsoran ?
Tidak selalu hujan deras mengakibatkan longsoran pada lereng yang berbakat longsor. Apabila tanah yang berbakat longsor tersebut bersifat gembur, maka tanah ini bersifat sangat lolos air. Akibatnya hujan yang deras sangat efektif untuk meresap masuk ke dalam lereng, dan dalam waktu beberapa jam saja air sudah mempunyai cukup kekuatan untuk melongsorkan tanah teresebut. Untuk longsoran pada tanah gembur semacam ini umumnya sudah mulai dapat terjadi pada awal musim hujan (misalnya awal November).
Namun apabila tanah penyusun lereng tersebut bersifat lebih sulit meloloskan air, misalnya tanah-tanah lempung yang kedap air (tidak gembur), maka hujan yang deras tidak dapat efektif meresap ke dalam tanah tersebut, melainkan akan menjadi air limpasan (run-off), yang selanjutnya akan cenderung menjadi banjir di daerah bawah lereng. Untuk kondisi tanah yang lebih sulit meloloskan air ini hujan yang paling efektif untuk melongsorkan tanah adalah hujan yang normal saja (bukan hujan deras), tapi turun selama beberapa hari atau beberapa minggu (tiap harinya turun selama beberapa jam). Longsoran pada tanah semacam ini umumnya terjadi pada pertengahan musim hujan (misal Desember) hingga akhir musim hujan (misal Maret).
Gejala awal/ indikasi lereng akan longsor.
Munculnya retakan tanah yang memanjang sejajar sisi lereng, dan retakan ini sering pula berbentuk tapal kuda. Retakan ini merupakan indikasi awal lereng siap meluncur. Sering pula retakan ini tidak hanya terjadi pada tanah, tetapi juga pada bangunan dan jalan. Indikasi yang lain adalah munculnya rembesan-rembesan air pada lereng.
Apa yang harus dilakukan apabila indikasi awal longsoran sudah muncul?
Segera laporkan ke aparat setempat dan sumbat (timbun) retakan tanah, ataupun retakan jalan tersebut dengan sesuatu yang kedap air. Maksudnya adalah untuk mencegah agar air (misalnya air hujan) tidak akan meresap masuk ke dalam retakan tersebut, yang akhirnya akan mendorong lereng untuk bergerak longsor.
Apabila retakan tanah sudah berkembang sehingga lebarnya mencapai 5 cm dalam waktu 1 jam, maka segera saja lereng dan daerah bagian bawah lereng dikosongkan dari kegiatan manusia. Ini berarti lereng sudah siap untuk meluncur longsor.

Dalam kondisi semacam ini harus dihindari getaran-getaran pada lereng serta penggalian pada bagian kaki lereng.
Apakah yang dapat dilakukan oleh masyarakat di daerah rawan longsor sebelum indikasi awal longsoran muncul (untuk langkah pencegahan longsoran) ?

1. Atur drainase lereng sehingga tingkat kejenuhan air dalam lereng setelah hujan turun dapat dikurangi. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan membuat parit yang berfungsi untuk menyalurkan air limpasan hujan ke arah menjauhi lereng yang rawan longsor.
2. Membuat saluran drainase dalam lereng dengan cara menusukkan pipa-pipa bambu yang dilubangi kedua ujungnya. Pipa ini ditusukkan pada bagian bawah lereng kurang lebih 1 m di atas titik-titik rembesan air yang keluar dari lereng. Panjang pipa minimal 2 meter. Untuk menghindari penyumbatan oleh butir-butir tanah yang ikut terbawa air, di dalam pila dapat diberi filter berselang-seling berupa ijuk dan pasir.
3. Apabila hujan deras turun atau hujan tidak deras turun terus menerus selama lebih dari 1 jam, disarankan sementara menyingkir dari daerah pada lereng dan di bawah lereng yang rawan longsor.
4. Jangan menimbulkan getaran pada lereng
5. Jangan melakukan penggalian pada bagian kaki lereng

Mengapa sosialisasi informasi ini sangat perlu ?
Sosialisasi/penyebar luasan informasi ini sebaiknya dapat dilakukan secara lebih gencar, misalnya melalui tayangan televisi dan radio yang diputar minimal tiga kali sehari menjelang dan selama musim hujan. Kita dapat mencontoh sosialisasi cara pencegahan Demam Berdarah ataupun cara emergency untuk mengatasi Diare dengan garam oralit. Dengan cara sosialisasi yang gencar dan tidak terkesan menakut-nakuti ini, masyarakat akan lebih memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi, mengapa hal tersebut terjadi dan langkah-langkah apa yang dapat mereka lakukan sendiri untuk menolong diri mereka sendiri. Dengan kata lain, masyarakat akan lebih berdaya dalam menghadapi longsoran. Apabila seluruh masyarakat sudah terkondisikan dengan situasi siap menghadapi longsoran, diharapkan jumlah korban longsoran susulan dapat lebih jauh berkurang dan hal ini akan jauh lebih meringankan aparat dalam menangani bencana longsoran.
Jadi secara umum dapat disarankan kepada pemegang kebijakan beberapa tindakan yang perlu dilakukan sbb :
A. Emergency action dengan cara :
1. sosialisasi petunjuk praktis mengantisipasi longsoran secara dini dan petunjuk praktis menghindari bahaya longsoran. Sosialisasi harus mencapai level masyarakat desa.
2. Pemantauan retakan- retakan tanah ataupun retakan jalan dan bangunan pada daerah rawan longsoran selama musim hujan. Retakan ini akan berbentuk khas memanjang ataupun melengkung seperti tapal kuda. Pemantauan retakan juga harus dilakukan setiap hari selama musim hujan pada tanah-tanah yang berdekatan dengan bangunan air ataupun bangunan fasilitas umum seperti pada tanah-tanah di sekitar bendungan, bendung, saluran air, tanggul air, jalan kereta api, dan jalan raya.

B. Midterm action :
Pemetaan ulang daerah rawan longsoran dan pemasangan rambu-rambu pada lokasi longsor.

C. Longterm action :
Penanggulangan terpadu berdasarkan pendekatan perlindungan ekosistem. Baik longsoran ataupun banjir pemicu utamanya adalah terganggunya sistem tata air pada suatu ekosistem. Jadi penanggulangan kedua jenis bencana tersebut harus terpadu dan melibatkan berbagai instansi dan disiplin ilmu terkait, guna mengelola sistem tata air pada ekosistem yang rawan longsor dan banjir.

ANTISIPASI TERJADINYA BENCANA

Secara umum daerah rawan bencana longsor di P. Jawa terdapat di sepanjang lereng selatan jajaran Gunung Api yang melintas dari Jawa Barat hingga ke Jawa Timur. Daerah ini apabila tidak diwaspadai sebelumnya, umumnya longsoran dapat terjadi mulai awal musim hujan, misalnya mulai bulan Desember hingga Maret. Oleh karena itu dihimbau agar daerah-daerah tersebut segera mulai melakukan antisipasi dini. Antsipasi yang paling tepat dan praktis, adalah dengan menjaga lereng-lereng rawan longsor tersebut tidak jenuh air, misal dengan cara :

1. Arahkan limpasan air hujan dari atas lereng menjauh dari bagian lereng yang rawan longsor
2. Tancapkan pipa-pipa/bambu-bambu yang dilubangi kedua ujungnya melalui muka lereng, untuk menguras air yang sudah terlanjur terjebak di dalam lereng.
3. Apabila sudah mulai muncul retakan tanah yang memanjang sejajar sisi lereng, dan retakan ini umumnya melengkung seperti tapal kuda, segera sumbat tanah retak tersebut dengan bahan kedap air atau tanah lempung, agar air hujan tidak dapat meresap ke dalam retakan, dan tindakan pengaturan drainase lereng harus segera dilakukan
4. Apabila retakan tanah semakin cepat berkembang, misal : lebarnya telah mencapai 5 cm dalam waktu 1 jam, kosongkan segera lereng agar tidak ada aktivitas manusia. Retakan tanah ini adalah indikator kritis tanah sudah siap untuk meluncur ke bawah lereng.

Keterangan Pada Foto Udara


Pada foto udara terdapat  tanda-tanda yang dapat kita jumpai pada bagian tepi foto, antara lain :
1.      Tanda Fiducial
Tiap foto udara diberi empat atau delapan tanda fiducial yang terletak pada setiap sudut foto atau bagian tengah garis tepi foto. Perpotongan antara dua garis yang masing-masing ditarik dari dua tanda fiducial yang berhadapan menunjukkan letak titi utama atau titik tengah (principal point) foto.
2.      Seri Nomor
Seri normal yang lengkap setidaknya mengandung unsur-unsur berikut, antara lain : nomor registrasi, nomor daerah yang dipotret, tanggal pemotretan, nomor jalur terbang dan nomor foto. Nomor registrasi digunakan untuk pengarsipan dan pengambilan kembali serta pemesanan cetak foto bagi yang memerlukan. Nomor jalur terbang diperlukan dalam penyimpanan foto dan juga untuk menyusun mozaik serta untuk mencari pasangan streoskop. Contoh ; VII/316/Wonogiri/XIV-25. Nomor registrasi : VII/316, Wonogiri nama daerah, XIV sebagai nomor jalur terbang dan 25 adalah nomor urut foto dalam jalur terbang itu. Biasanya dilengkapi dengan tanggal pemotretan.
3.      Tanda Tepi
Terlertak pada tepi kiri dan tepi kanan foto. Pada umumnya tanda tepi terdiri atas empat buah. Tanda paling atas berupa level atau nivo untuk menunjukkan apakah foto udara tersebut benar-benar dalam keadaan vertikal. Tanda kedua berupa pukul yang menunjukkan jam pemotretan, sehingga diketahui orientasi, tinggi relatif objek berdasarkan arah dan panjang bayangan. Tanda ketiga memperlihatkan panjang fokus kamera dan nomor seri kamera yang digunakan. Tanda tepi paling bawah berupa altimeter, untuk menentukan tinggi pesawat terbang di atas permukaan laut saat pemotretan. Untuk mengetahui tinggi terbang pesawat di atas bidang rujukan, tinggi pada altimeter dikurangi dengan tinggi rata-rata daerah.

SISTEM INISIASI PELEDAKAN (Blast Initiation System)

Inisiator merupakan suatu istilah yang diguanakan oleh perusahaan (industri) bahan peledakn untuk mendeskripsikan peralatan yang dapat dig...