Senin, 16 Januari 2012
Pembuatan Peta
untuk mengetahui cara membuat Peta Geologi sesuai dengan Standar Nasional Indonesia Download Disini
Sabtu, 14 Januari 2012
Klasifikasi Delta-Delta yang Ada Di Sumatera Selatan
Delta adalah landform yang dibuat di mulut sebuah sungai di mana sungai yang mengalir ke dalam laut, laut, muara, danau, waduk, rata gersang daerah, atau ke sungai. Deltas yang dibentuk dari endapan dari yang dibawa oleh sungai sebagai alur daun mulut sungai. Lebih lama dari waktu, endapan ini membangun karakteristik geografis pola delta sungai.
Sungai deltas mengalir bila sungai membawa endapan mencapai daerah pusat penampungan air, seperti danau, laut, atau waduk. Arus ekspansi hasil penurunan arus kecepatan yang diminimalisir untuk mengalir ke transportasi sedimen. Seiring waktu, satu saluran ini akan membangun sebuah aliran yang memiliki daerah endapan, Sehingga saluran sungai menjadi tidak stabil karena dua alasan. Pertama, air dibawah karena gravitasi akan cenderung mengalir di paling bawah lereng. Sehingga dapat menyebabkan banjir. Kedua, sebagai aliran rendah , jumlah pengikisan lapisan permukaan pada aliran sungai akan menghasilkan endapan dari endapan di saluran dan saluran untuk naik ke daerah delta yang relatif terhadap floodplain. Hal ini akan memudahkan sungai untuk membentuk pola aliran baru. Sering kali bila saluran ini, sebagian dari arus dapat tetap berada di saluran yang ditinggalkan. Bila saluran ini terjadi berulang kali berganti sepanjang waktu, maka delta akan membentuk sebuah cabang jaringan.
Cabang jaringan dari saluran sungai akan membentuk mulut bar (kandungan didalam daerah tersebut berupan endapan sediment). Bila saluran ini dipertengahan bar maka terdapat endapan di mulut sungai, dan akan membentuk saluran cabang-cabang baru. Dalam kedua kasus ini, proses depositional memaksa kembali dari endapan dari bidang tinggi endapan ke daerah-daerah yang rendah endapan. Sungai Musi adalah contoh dari sungai yang sering mengendapkan material sediment karena bentuk dan kondisi permukaan sungai Musi yang lebih relatif datar, tidak memiliki tekstur yang curam dan disini pengaruh dari arus laut tidak memiliki kontribusi yang cukup besar untuk membawa material sediment ke dalam permukaan laut, dikarenakan posisi dari delta Upang, delta Saleh, dan delta Telang yang relative jauh letaknya dengan laut, atau karena disana dihalangi oleh sebuah kepulauan Bangka Belitung sehingga wilayah pertengahannya, atau biasa kita sebut dengan selat, yakni selat Bangka tidak membawa arus yang besar karena ombak pada selat tersebut relative landai.
Deltas biasanya diklasifikasikan menurut kontrol utama pada endapan, yang biasanya baik sungai, ombak, atau arus. Klasifikasi ini memiliki kontrol yang besar terhadap bentuk yang dihasilkan delta. Di Sumatera Selatan, terdapat delta musi dan memiliki cabang – cabang delta, seperti delta Upang, delta Saleh dan delta Telang. Delta-delta ini jika diklasifikasikan termasuk dalam “ High Constructive deltas” atau dalam pembentukan delta ini proses yang lebih dominan adalah proses dari sungai. Sehingga pada delta-delta tersebut memliki kadar sediment yang banyak, karena inputnya adalah sungai. Secara Physiographic, delta – delta di Sumatera Selatan baik delta Upang, delta Saleh, dan delta Telang termasuk dalam Upper Delta Plain, mengapa demikian? Ini dikarenakan dilihat dari posisi delta yang masih menjorok ke dalam daratan sehingga pengaruh laut disini kurang berperan. Dan secara Stratigraphically delta-delta ini termasuk dalam kelompok Topset beds, maksudnya disini delta-delta ini relatif horizontal, pada keadaan ini delta – delta Musi tidak dijumpai tekstur yang curam.
Jadi, Secara garis besar delta-delta Musi, baik delta Upang, delta Saleh dan delta Telang memiliki tekstur dan struktur yang sama dikarenakan jarak antar delta yang berdekatan, dan merupakan suatu percabangan delta induk yakni delta Musi, dan karekteristik dari delta-delta tersebut didominasi oleh sungai sehingga memilki material sediment yang dominant dan delta-delta ini memilki bentuk yang relative datar.
Sungai deltas mengalir bila sungai membawa endapan mencapai daerah pusat penampungan air, seperti danau, laut, atau waduk. Arus ekspansi hasil penurunan arus kecepatan yang diminimalisir untuk mengalir ke transportasi sedimen. Seiring waktu, satu saluran ini akan membangun sebuah aliran yang memiliki daerah endapan, Sehingga saluran sungai menjadi tidak stabil karena dua alasan. Pertama, air dibawah karena gravitasi akan cenderung mengalir di paling bawah lereng. Sehingga dapat menyebabkan banjir. Kedua, sebagai aliran rendah , jumlah pengikisan lapisan permukaan pada aliran sungai akan menghasilkan endapan dari endapan di saluran dan saluran untuk naik ke daerah delta yang relatif terhadap floodplain. Hal ini akan memudahkan sungai untuk membentuk pola aliran baru. Sering kali bila saluran ini, sebagian dari arus dapat tetap berada di saluran yang ditinggalkan. Bila saluran ini terjadi berulang kali berganti sepanjang waktu, maka delta akan membentuk sebuah cabang jaringan.
Cabang jaringan dari saluran sungai akan membentuk mulut bar (kandungan didalam daerah tersebut berupan endapan sediment). Bila saluran ini dipertengahan bar maka terdapat endapan di mulut sungai, dan akan membentuk saluran cabang-cabang baru. Dalam kedua kasus ini, proses depositional memaksa kembali dari endapan dari bidang tinggi endapan ke daerah-daerah yang rendah endapan. Sungai Musi adalah contoh dari sungai yang sering mengendapkan material sediment karena bentuk dan kondisi permukaan sungai Musi yang lebih relatif datar, tidak memiliki tekstur yang curam dan disini pengaruh dari arus laut tidak memiliki kontribusi yang cukup besar untuk membawa material sediment ke dalam permukaan laut, dikarenakan posisi dari delta Upang, delta Saleh, dan delta Telang yang relative jauh letaknya dengan laut, atau karena disana dihalangi oleh sebuah kepulauan Bangka Belitung sehingga wilayah pertengahannya, atau biasa kita sebut dengan selat, yakni selat Bangka tidak membawa arus yang besar karena ombak pada selat tersebut relative landai.
Deltas biasanya diklasifikasikan menurut kontrol utama pada endapan, yang biasanya baik sungai, ombak, atau arus. Klasifikasi ini memiliki kontrol yang besar terhadap bentuk yang dihasilkan delta. Di Sumatera Selatan, terdapat delta musi dan memiliki cabang – cabang delta, seperti delta Upang, delta Saleh dan delta Telang. Delta-delta ini jika diklasifikasikan termasuk dalam “ High Constructive deltas” atau dalam pembentukan delta ini proses yang lebih dominan adalah proses dari sungai. Sehingga pada delta-delta tersebut memliki kadar sediment yang banyak, karena inputnya adalah sungai. Secara Physiographic, delta – delta di Sumatera Selatan baik delta Upang, delta Saleh, dan delta Telang termasuk dalam Upper Delta Plain, mengapa demikian? Ini dikarenakan dilihat dari posisi delta yang masih menjorok ke dalam daratan sehingga pengaruh laut disini kurang berperan. Dan secara Stratigraphically delta-delta ini termasuk dalam kelompok Topset beds, maksudnya disini delta-delta ini relatif horizontal, pada keadaan ini delta – delta Musi tidak dijumpai tekstur yang curam.
Jadi, Secara garis besar delta-delta Musi, baik delta Upang, delta Saleh dan delta Telang memiliki tekstur dan struktur yang sama dikarenakan jarak antar delta yang berdekatan, dan merupakan suatu percabangan delta induk yakni delta Musi, dan karekteristik dari delta-delta tersebut didominasi oleh sungai sehingga memilki material sediment yang dominant dan delta-delta ini memilki bentuk yang relative datar.
Pengertian Proyeksi Peta
Persoalan ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus pada muka lengkungan bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan daerah pengukuran dan penggambaran tidak terlalu luas, seperti halnya dalam ilmu ukur tanah (plane surveying) yang muka lengkungan bumi bisa dianggap datar maka tidak ditemui perbedaan yang berarti antara unsur di muka bumi dan gambarannya di peta.
Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi peta diupayakan sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik di muka bumi dan di peta.
Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau ellipsoid. Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah geoid untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi dengan bentuk muka yang sangat tidak beraturan.
Untuk menghindari kompleksitas model matematik geoid, maka dipilih model ellipsoid terbaik pada daerah pemetaan, yaitu yang penyimpangannya terkecil terhadap geoid. WGS-84 (World Geodetic System) dan GRS-1980 (Geodetic Reference System) adalah ellipsoid terbaik untuk keseluruhan geoid. Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS-84 adalah 60 m di atas dan 100 m di bawah-nya. Bila ukuran sumbu panjang ellipsoid WGS-84 adalah 6 378 137 m dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio penyimpangan terbesar ini adalah 1 / 100 000. Indonesia, seperti halnya negara lainnya, menggunakan ukuran ellipsoid ini untuk pengukuran dan pemetaan di Indonesia. WGS-84 "diatur, diimpitkan" sedemikian rupa diperoleh penyimpangan terkecil di kawasan Nusantara RI. Titik impit WGS-84 dengan geoid di Indonesia dikenal sebagai datum Padang (datum geodesi relatif) yang digunakan sebagai titik reference dalam pemetaan nasional. Sebelumnya juga dikenal datum Genuk di daerah sekitar Semarang untuk pemetaan yang dibuat Belanda. Menggunakan ER yang sama – WGS 84, sejak 1995 pemetaan nasional di Indonesia menggunakan datum geodesi absolut. DGN-95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat ER berimpit dengan pusat masa bumi.
Untuk memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka digunakan model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid terbaik. Rekonstruksi proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan distorsi dalam hal: luas, bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada satupun sistem proyeksi peta yang bisa menghasilkan peta dengan keempat faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak mengalami distorsi. Upaya mempertahan salah satu unsur berakibat terjadinya distorsi pada unsur yang lain.
Sistem proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi tersebut dengan:
• Membagi daerah yang dipetakan menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, dan
• Menggunakan bidang peta berupa bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa mengalami distorsi seperti bidang kerucut dan bidang silinder.
Kebanyakan orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem proyeksi peta ke sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang majunya teknologi komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam bidang pemetaan, seperti GPS dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi merupakan hal yang penting dan untuk dikerjakan.
Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi peta diupayakan sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik di muka bumi dan di peta.
Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau ellipsoid. Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah geoid untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi dengan bentuk muka yang sangat tidak beraturan.
Untuk menghindari kompleksitas model matematik geoid, maka dipilih model ellipsoid terbaik pada daerah pemetaan, yaitu yang penyimpangannya terkecil terhadap geoid. WGS-84 (World Geodetic System) dan GRS-1980 (Geodetic Reference System) adalah ellipsoid terbaik untuk keseluruhan geoid. Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS-84 adalah 60 m di atas dan 100 m di bawah-nya. Bila ukuran sumbu panjang ellipsoid WGS-84 adalah 6 378 137 m dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio penyimpangan terbesar ini adalah 1 / 100 000. Indonesia, seperti halnya negara lainnya, menggunakan ukuran ellipsoid ini untuk pengukuran dan pemetaan di Indonesia. WGS-84 "diatur, diimpitkan" sedemikian rupa diperoleh penyimpangan terkecil di kawasan Nusantara RI. Titik impit WGS-84 dengan geoid di Indonesia dikenal sebagai datum Padang (datum geodesi relatif) yang digunakan sebagai titik reference dalam pemetaan nasional. Sebelumnya juga dikenal datum Genuk di daerah sekitar Semarang untuk pemetaan yang dibuat Belanda. Menggunakan ER yang sama – WGS 84, sejak 1995 pemetaan nasional di Indonesia menggunakan datum geodesi absolut. DGN-95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat ER berimpit dengan pusat masa bumi.
Untuk memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka digunakan model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid terbaik. Rekonstruksi proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan distorsi dalam hal: luas, bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada satupun sistem proyeksi peta yang bisa menghasilkan peta dengan keempat faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak mengalami distorsi. Upaya mempertahan salah satu unsur berakibat terjadinya distorsi pada unsur yang lain.
Sistem proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi tersebut dengan:
• Membagi daerah yang dipetakan menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, dan
• Menggunakan bidang peta berupa bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa mengalami distorsi seperti bidang kerucut dan bidang silinder.
Kebanyakan orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem proyeksi peta ke sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang majunya teknologi komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam bidang pemetaan, seperti GPS dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi merupakan hal yang penting dan untuk dikerjakan.
Jumat, 13 Januari 2012
Jenis Peta
Peta bisa dijeniskan berdasarkan isi, skala, penurunan serta penggunaannya.
• Peta berdasarkan isinya:
Peta hidrografi: memuat informasi tentang kedalaman dan keadaan dasar laut serta informasi lainnya yang diperlukan untuk navigasi pelayaran.
Peta geologi: memuat informasi tentang keadaan geologis suatu daerah, bahan-bahan pembentuk tanah dll. Peta geologi umumnya juga menyajikan unsur peta topografi.
Peta kadaster: memuat informasi tentang kepemilikan tanah beserta batas dll-nya.
Peta irigasi: memuat informasi tentang jaringan irigasi pada suatu wilayah.
Peta jalan: memuat informasi tentang jejaring jalan pada suatu wilayah
Peta Kota: memuat informasi tentang jejaring transportasi, drainase, sarana kota dll-nya.
Peta Relief: memuat informasi tentang bentuk permukaan tanah dan kondisinya.
Peta Teknis: memuat informasi umum tentang tentang keadaan permukaan bumi yang mencakup kawasan tidak luas. Peta ini dibuat untuk pekerjaan perencanaan teknis skala
1 : 10 000 atau lebih besar.
Peta Topografi: memuat informasi umum tentang keadaan permukaan bumi beserta informasi ketinggiannya menggunkan garis kontur. Peta topografi juga disebut sebagai peta dasar.
Peta Geografi: memuat informasi tentang ikhtisar peta, dibuat berwarna dengan skala lebih kecil dari 1 : 100 000.
• Peta berdasarkan skalanya:
Peta skala besar: skala peta 1 : 10 000 atau lebih besar.
Peta skala sedang: skala peta 1 : 10 000 - 1 : 100 000.
Peta skala kecil: skala peta lebih kecil dari 1 : 100 000.
Peta tanpa skala kurang atau bahkan tidak berguna. Skala peta menunjukkan ketelitian dan kelengkapan informasi yang tersaji dalam peta. Peta skala besar lebih teliti dan lebih lengkap dibandingkan peta skala kecil. Skala peta bisa dinyatakan dengan: persamaan (engineer's scale), perbandingan atau skala numeris (numerical or fractional scale) atau skala fraksi dan grafis (graphical scale).
• Peta berdasarkan penurunan dan penggunaan:
Peta dasar: digunakan untuk membuat peta turunan dan perencanaan umum maupun pengembangan suatu wilayah. Peta dasar umunya menggunakan peta topografi.
Peta tematik: dibuat atau diturunkan berdasarkan peta dasar dan memuat tema-tema tertentu.
• Peta berdasarkan isinya:
Peta hidrografi: memuat informasi tentang kedalaman dan keadaan dasar laut serta informasi lainnya yang diperlukan untuk navigasi pelayaran.
Peta geologi: memuat informasi tentang keadaan geologis suatu daerah, bahan-bahan pembentuk tanah dll. Peta geologi umumnya juga menyajikan unsur peta topografi.
Peta kadaster: memuat informasi tentang kepemilikan tanah beserta batas dll-nya.
Peta irigasi: memuat informasi tentang jaringan irigasi pada suatu wilayah.
Peta jalan: memuat informasi tentang jejaring jalan pada suatu wilayah
Peta Kota: memuat informasi tentang jejaring transportasi, drainase, sarana kota dll-nya.
Peta Relief: memuat informasi tentang bentuk permukaan tanah dan kondisinya.
Peta Teknis: memuat informasi umum tentang tentang keadaan permukaan bumi yang mencakup kawasan tidak luas. Peta ini dibuat untuk pekerjaan perencanaan teknis skala
1 : 10 000 atau lebih besar.
Peta Topografi: memuat informasi umum tentang keadaan permukaan bumi beserta informasi ketinggiannya menggunkan garis kontur. Peta topografi juga disebut sebagai peta dasar.
Peta Geografi: memuat informasi tentang ikhtisar peta, dibuat berwarna dengan skala lebih kecil dari 1 : 100 000.
• Peta berdasarkan skalanya:
Peta skala besar: skala peta 1 : 10 000 atau lebih besar.
Peta skala sedang: skala peta 1 : 10 000 - 1 : 100 000.
Peta skala kecil: skala peta lebih kecil dari 1 : 100 000.
Peta tanpa skala kurang atau bahkan tidak berguna. Skala peta menunjukkan ketelitian dan kelengkapan informasi yang tersaji dalam peta. Peta skala besar lebih teliti dan lebih lengkap dibandingkan peta skala kecil. Skala peta bisa dinyatakan dengan: persamaan (engineer's scale), perbandingan atau skala numeris (numerical or fractional scale) atau skala fraksi dan grafis (graphical scale).
• Peta berdasarkan penurunan dan penggunaan:
Peta dasar: digunakan untuk membuat peta turunan dan perencanaan umum maupun pengembangan suatu wilayah. Peta dasar umunya menggunakan peta topografi.
Peta tematik: dibuat atau diturunkan berdasarkan peta dasar dan memuat tema-tema tertentu.
TABEL WAKTU GEOLOGI
Struktur dan lokasi lapisan kulit batuan dalam waktu tertentu, kita membutuhkan beberapa unit pada skala waktu geologi. Selama lebih dari 570 juta tahun adalah masa Precambrion. Tiga masa berikutnya adalah Paleozoic, Mesozoic, dan Cenozoic. Seluruh masa ini menunjukkan evolusi bentuk-bentuk kehidupan di laut dan di darat. Zaman-zaman geologi juga dibagi menjadi beberapa periode; namanya zaman dan durasi yang diberikan pada tabel 12.1. Keseluruhan waktu geologi, singkat tetapi pembentukan lapisan-lapisan kulit menjadi retak dan patah. Pembentukan bagian gunung semacam ini diketahui sebagai suatu orogeni.
Tabel 12.1. Zaman Cenozoic berpusat pada permukaan daratan karena karakter pemandangan di sekitarnya sekarang, terbentuk 65 juta tahun lamanya ketika mulai zaman ini. Karena zaman Cenozoic termasuk durasi yang singkat, tidak mungkin lebih dari durasi rata-rata umur yang lebih tua. Zaman ini dibagi secara langsung menjadi beberapa unit waktu yang disebut epoc.
Bangsa manusia genus homo, terbentuk pada zaman EpocPliocean terakhir. Seperti yang anda lihat, periode okupasi manusia pada permukaan bumi adalah momen yang terjadi pada durasi yang lama sepanjang sejarah geologi.
Tabel 12.1. Zaman Cenozoic berpusat pada permukaan daratan karena karakter pemandangan di sekitarnya sekarang, terbentuk 65 juta tahun lamanya ketika mulai zaman ini. Karena zaman Cenozoic termasuk durasi yang singkat, tidak mungkin lebih dari durasi rata-rata umur yang lebih tua. Zaman ini dibagi secara langsung menjadi beberapa unit waktu yang disebut epoc.
Bangsa manusia genus homo, terbentuk pada zaman EpocPliocean terakhir. Seperti yang anda lihat, periode okupasi manusia pada permukaan bumi adalah momen yang terjadi pada durasi yang lama sepanjang sejarah geologi.
Konsep Dasar Digital Mapping
Digital Mapping atau Pemetaan Digital adalah suatu cara baru dalam pembuatan peta, baik untuk keperluan pencetakan ataupun dalam format peta digital. Inti dari model pemetaan digital adalah proses pengolahan obyek-obyek peta yang menggunakan format digital sehingga membutuhkan media perangkat keras komputer dan perangkat lunaknya. Perangkat keras yang paling sering digunakan karena kelebihan dalam hal pengoperasian dan ketersediaan perangkat lunak adalah Personal Computer (PC) yang menggunakan perangkat lunak Dekstop Mapping, seperti ArcInfo, ArcView atau MapInfo Professional.
Sebagai masukan atau input data dapat menggunakan data peta analog yang sudah ada, hasil interpretasi foto udara atau citra digital. Data-data analog ini perlu dilakukan digitalisasi (mengubah informasi dari analog ke digital), melalui vektorisasi dengan perangkat keras meja digitizer atau rasterisasi (scanning) yang kemudian diubah ke data vektor juga.
Untuk proses editing obyek-obyek peta yang berupa simbol-simbol titik (point), garis (line), ataupun poligon (area) dilakukan dalam format data vektor, hal ini mengingat kemampuan format vektor yang tidak terpengaruh oleh besar kecilnya nilai pixel. Ketika dilakukan zooming (in atau out) informasi yang tersimpan dalam format vektor tidak berubah. Hal ini sangat berbeda bila menggunakan format data raster yang terpengaruh oleh zooming kenampakan pada layar monitor.
Dengan berbagai manipulasi yang ada pada beragam perangkat lunak yang digunakan, setelah melalui proses editing dan perancangan lay out akan dihasilkan peta baru yang siap dicetak ataupun untuk informasi lain dalam format digital. Peta baru dalam format digital ini memiliki banyak keuntungan apabila akan digandakan, dikirim ketempat lain, atau jika akan dilakukan penambahan atau pengurangan informasi baru kedalamnya. Untuk penyimpanannya pun jauh lebih hemat, praktis dan relatif tahan lama.
Untuk proses editing obyek-obyek peta yang berupa simbol-simbol titik (point), garis (line), ataupun poligon (area) dilakukan dalam format data vektor, hal ini mengingat kemampuan format vektor yang tidak terpengaruh oleh besar kecilnya nilai pixel. Ketika dilakukan zooming (in atau out) informasi yang tersimpan dalam format vektor tidak berubah. Hal ini sangat berbeda bila menggunakan format data raster yang terpengaruh oleh zooming kenampakan pada layar monitor.
Dengan berbagai manipulasi yang ada pada beragam perangkat lunak yang digunakan, setelah melalui proses editing dan perancangan lay out akan dihasilkan peta baru yang siap dicetak ataupun untuk informasi lain dalam format digital. Peta baru dalam format digital ini memiliki banyak keuntungan apabila akan digandakan, dikirim ketempat lain, atau jika akan dilakukan penambahan atau pengurangan informasi baru kedalamnya. Untuk penyimpanannya pun jauh lebih hemat, praktis dan relatif tahan lama.
Contoh Laporan Praktikum Geologi Dasar
Laporan Mengenai Batuan Sedimen Click Disini
Laporan Mengenai Peta Topografi Click Disini
Laporan Pengenalan Kompas Geologi Click Disini
Laporan Mengenai Peta Topografi Click Disini
Laporan Pengenalan Kompas Geologi Click Disini
Karakteristik Benua dan Samudra sebagai Kesatuan Wilayah
Menurut pembentukannya benua di permukaan bumi telah mengalami pergeseran dan perubahan bentuk. Sekitar th. 1900 para ahli geologi telah mengetahui bahwa kerak bumi bagian luar mengapung diatas lapisan yang lunak.
Beberapa teori tentang gerakan yang disampaikan oleh para ahli antara lain :
1. Alfred Lothar Wegener (1880 – 1930).
A.l. Wgener dalam bukunya “Die Enstehung der Kontinente und Ozeane” (Asal-usul Benua) 1915 pertama kali mengungkap teori pergeseran benua. Menurutnya di permukaan bumi pada mulanya hanya ada satu benua yaitu Pagea dan satu samudra yaitu Tethys. Pada zaman Trias akhir, Pagea pecah menjadi 2 benua besar yaitu Gondwana dan Laurasia. Pada zaman Karbon (65 juta th,yl) pemisahan benua sudah tampak seperti sekarang, tetapi daratan India belum bersatu dengan Asia. Selanjutnya benua-benua pecah dan bergeser dengan kecepatan 3 – 13 cm per tahun hingga pada bentuk sekarang.
Temuan/ bukti yang menjadi titik tolak teori A.L Wegener sebagai berikut :
a. Terdapat persamaan yang menyolok antara garis pantai timur Benua Amerika Utara dan Selatan dengan garis pantai barat Eropa dan Afrika.
b. daerah Greenland sekarang bergerak menjauhi daratan Eropa dengan kecepatan 3,6 cm per tahun, kep. Madagaskar menjauhi Afrika Selatan dengan kecepatan 9 cm per tahun.
c. Samudra Atlantik semakin luas karena benua Amerika terus bergerak ke barat.
d. Adanya kegiatan seismik (gempa bumi) yang luar biasa disepanjang patahan San Andreas dekat pantai barat Amerika Serikat.
e. batas Samudra Hindia makin mendesak ke utara; anak Benua India semula diduga agak panjang karena gerakan keutara maka India makin makin menyempit dan mendekat ke benuat Asia.(menimbulkan lipatan pegunungan Himalaya)
2. Edward Suess 1831 – 1914
Edward menyatakan bahwa persamaan geologi yang terdapat di Amerika Selatan, India, Australi dan Antartika disebabkan oleh bersatunya daratan-daratan itu pada awal mulanya yang merupakan satu benua disebut Gondwana. Benua yang besar tinggal sisanya, karena yang lain sudah tenggelam dibawah permukaan laut.
Permukaan benua dibagi atas 3 kelompok utama yaitu :
a. Dataran Stabil (stable platform) yaitu dataran yang sangat luas terdiri atas batuan sedimen berlapis-lapis yang terhampar diatas perisai benua.
b. Jalur pegunungan lipatan (folded mountain belt) Yaitu jalur pegunungan yang terdapat pada tepi-tepi benua yang saling bertumbukan (konvergensi).
Jalur pegunungan lipatan misalnya jalur peg. Yang melingkari Samudra Pasifik (Sirkum Pasifik) dan jalur pegunungan yang melingkari Laut Mediterania, Asia Selatan dan Indonesia (Sirkum Mediterania).
c. Perisai benua (Shield) yaitu lapisan benua paling bawah (dasar benua).
Lapisan ini tersusun atas batuan beku yang mengalami metamorfosis (perubahan wujud).
Wilayah benua dan samudra bersambung membentuk satu kesatuan wilayah yang saling terkait
1. Bagian Penampang Samudra.
a. Lantai Abisal yaitu lantai dasar samudra dengan kedalaman kurang dari 3000 m.
missal : dasar samudra Pasifik, dasar samudra Hindia, dan samudra Atlantik.
b. Palung Laut yaitu jurang di dasar laut yang dalam; terbentuk didaerah sepanjang zona tumbukan antara lempeng benua dan lempeng samudra yang berada didasar laut.
Missal : palung sunda, palung jepang, palung filiphina, palung new Britain dan palung Izu.
c. Igir tengah samudra (mid oceanic ridge) yaitu jalur gunung api yang memanjang di tengah samudra. Jalur ini merupakan pusat pemekaran (spreading center) yang menyebabkan benua-benua pecah dan bergeser letaknya. Jalur ini juga merupakan pusat-pusat gempa bumi.
Missal : igir tengah samudra atlantik.
2. Bagian Penampang Benua.
a. Stable Platform atau daratan stabil yaitu daratan luas yang terhampar di atas Shield.
Missal : daratan Asia, Amerika utara bagian tengah dan Australia.
b. Pegunungan lipatan tepi benua. Misalnya : rangkaian peg. Sirkum pasifik dan mediterania.
c. Shelf atau tepi benua disebut juga paparan benua yaitu bagian dari benua yang tertutup air laut sampai kedalaman 200 m.
missal : dangkalan sahul (paparan benua Australia), dangkalan sunda (paparan benua Asia).
d. Lereng Benua yaitu tebing curam yang merupakan peralihan dari benua ke dasar samudra
Beberapa teori tentang gerakan yang disampaikan oleh para ahli antara lain :
1. Alfred Lothar Wegener (1880 – 1930).
A.l. Wgener dalam bukunya “Die Enstehung der Kontinente und Ozeane” (Asal-usul Benua) 1915 pertama kali mengungkap teori pergeseran benua. Menurutnya di permukaan bumi pada mulanya hanya ada satu benua yaitu Pagea dan satu samudra yaitu Tethys. Pada zaman Trias akhir, Pagea pecah menjadi 2 benua besar yaitu Gondwana dan Laurasia. Pada zaman Karbon (65 juta th,yl) pemisahan benua sudah tampak seperti sekarang, tetapi daratan India belum bersatu dengan Asia. Selanjutnya benua-benua pecah dan bergeser dengan kecepatan 3 – 13 cm per tahun hingga pada bentuk sekarang.
Temuan/ bukti yang menjadi titik tolak teori A.L Wegener sebagai berikut :
a. Terdapat persamaan yang menyolok antara garis pantai timur Benua Amerika Utara dan Selatan dengan garis pantai barat Eropa dan Afrika.
b. daerah Greenland sekarang bergerak menjauhi daratan Eropa dengan kecepatan 3,6 cm per tahun, kep. Madagaskar menjauhi Afrika Selatan dengan kecepatan 9 cm per tahun.
c. Samudra Atlantik semakin luas karena benua Amerika terus bergerak ke barat.
d. Adanya kegiatan seismik (gempa bumi) yang luar biasa disepanjang patahan San Andreas dekat pantai barat Amerika Serikat.
e. batas Samudra Hindia makin mendesak ke utara; anak Benua India semula diduga agak panjang karena gerakan keutara maka India makin makin menyempit dan mendekat ke benuat Asia.(menimbulkan lipatan pegunungan Himalaya)
2. Edward Suess 1831 – 1914
Edward menyatakan bahwa persamaan geologi yang terdapat di Amerika Selatan, India, Australi dan Antartika disebabkan oleh bersatunya daratan-daratan itu pada awal mulanya yang merupakan satu benua disebut Gondwana. Benua yang besar tinggal sisanya, karena yang lain sudah tenggelam dibawah permukaan laut.
Permukaan benua dibagi atas 3 kelompok utama yaitu :
a. Dataran Stabil (stable platform) yaitu dataran yang sangat luas terdiri atas batuan sedimen berlapis-lapis yang terhampar diatas perisai benua.
b. Jalur pegunungan lipatan (folded mountain belt) Yaitu jalur pegunungan yang terdapat pada tepi-tepi benua yang saling bertumbukan (konvergensi).
Jalur pegunungan lipatan misalnya jalur peg. Yang melingkari Samudra Pasifik (Sirkum Pasifik) dan jalur pegunungan yang melingkari Laut Mediterania, Asia Selatan dan Indonesia (Sirkum Mediterania).
c. Perisai benua (Shield) yaitu lapisan benua paling bawah (dasar benua).
Lapisan ini tersusun atas batuan beku yang mengalami metamorfosis (perubahan wujud).
Wilayah benua dan samudra bersambung membentuk satu kesatuan wilayah yang saling terkait
1. Bagian Penampang Samudra.
a. Lantai Abisal yaitu lantai dasar samudra dengan kedalaman kurang dari 3000 m.
missal : dasar samudra Pasifik, dasar samudra Hindia, dan samudra Atlantik.
b. Palung Laut yaitu jurang di dasar laut yang dalam; terbentuk didaerah sepanjang zona tumbukan antara lempeng benua dan lempeng samudra yang berada didasar laut.
Missal : palung sunda, palung jepang, palung filiphina, palung new Britain dan palung Izu.
c. Igir tengah samudra (mid oceanic ridge) yaitu jalur gunung api yang memanjang di tengah samudra. Jalur ini merupakan pusat pemekaran (spreading center) yang menyebabkan benua-benua pecah dan bergeser letaknya. Jalur ini juga merupakan pusat-pusat gempa bumi.
Missal : igir tengah samudra atlantik.
2. Bagian Penampang Benua.
a. Stable Platform atau daratan stabil yaitu daratan luas yang terhampar di atas Shield.
Missal : daratan Asia, Amerika utara bagian tengah dan Australia.
b. Pegunungan lipatan tepi benua. Misalnya : rangkaian peg. Sirkum pasifik dan mediterania.
c. Shelf atau tepi benua disebut juga paparan benua yaitu bagian dari benua yang tertutup air laut sampai kedalaman 200 m.
missal : dangkalan sahul (paparan benua Australia), dangkalan sunda (paparan benua Asia).
d. Lereng Benua yaitu tebing curam yang merupakan peralihan dari benua ke dasar samudra
Laporan Kegiatan Geologi Lapangan
Pada tanggal 19 dan 20 desember 2011 kami dari Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya telah melakukan serangkaian acara kegiatan geologi lapangan yang bertujuan untuk menambah wawasan dan penguasaan kami tentang Materi mata kuliah geologi dasar, dan dari serangkaian acara tersebut inilah yang dapat saya amati dan saya simpulkan
Contoh Laporan Kegiatan Geologi Lapangan
Rabu, 11 Januari 2012
Kerangka Tektonik Busur Kepulauan Indonesia
Busur Sunda memperlihatkan efek dan mekanisme tektonik lempeng yang jelas. Bentuknya yang cembung ke arah samudra India dan perbedaan tatanan geologi, dan geofisika diintrepretasikan berhubungan dengan gaya tektonik yang bekerja padanya. (Hatherton dan Dickinson, 1969; Fitch, 1970; Hamilton, 1973; dan Katili, 1973).
Bentuk busur Banda yang melengkung, serta Sulawesi dan Halmahera yang ganjil terjadi karena gerak benua Australia dan Papua ke arah utara, yang dikombinasikan oleh gaya dorong Lempeng Pasifik ke arah barat (Katili, 1973). Hal serupa juga dikemukakan oleh Visser dan Hermes (1962), Audley-Charles dan Carter (1972), dan Gribi (1973). Timor, Seram, Buru dan Buton merupakan sistem busur yang sama berkenaan dengan kesamaan tatanan geologinya yang berasal dari hasil penunjaman Lempeng Samudra India-Australia.
Sulawesi pada zaman Mesosoikum kaya batuan metamorf, kecuali Buton dan Seram. Bagian tenggara Sulawesi mengandung ofiolit yang diperoleh dari lempeng samudra dengan endapan nikel dan krom, sedang Buton, Seram dan Timor menunjukkan perlapisan yang mengandung hidrokarbon.
Busur dalam volkanik Sangihe dan busur luar non-volkanik Talaud cenderung sejajar berarah utara-selatan. Punggungan Talaud meluas sampai Mayu dan menerus ke lengan timur Sulawesi. Punggungan bawah laut Mayu di Laut Maluku menunjukkan gaya berat minimum yang diduga merupakan akumulasi endapan-endapan opak dari sisa subduksi tua.
Bentuk dua lengan Sulawesi timur dan Halmahera dapat disebandingkan dengan dua anak panah yang bergerak ke barat. Ini telah diketahui cukup lama bahwa lengan timur yang cembung ke arah barat terdiri dari ofiolit, dan busur barat terdiri dari gunungapi aktif, yang di Sulawesi telah padam pada zaman Kwarter. Sulawesi dan Halmahera merupakan busur kepulauan yang mengarah ke utara selatan yang cembung ke arah Pasifik dengan zona subduksi Sulawesi-Maluku yang miring ke barat.
Pergerakan Lempeng Pasifik ke arah barat yang mengikuti sistem sesar transform menjelaskan kompleksitas tatanan geologi kawasan Sulawesi-Halmahera. Selama pergerakan ini pulau Banggai dan Buton dibawa ke arah timur laut. Pergerakan Banda ke arah timur-barat hanya merupakan pelenturan, tidak membuat sesar besar sepertihalnya di Papua dan Sulawesi. Volkanisme Kenozoikum Sampai Resen
Daerah ini mempunyai tiga fase evolusi magmatik, seperti dikemukakan oleh Stilles sebagai “initialer vlkanismus”, “synorogener putonismus” atau “subsequenter vlkanismus” dan “finaler vlkanismus”. Tetapi konsep ini tidak dapat diterapkan dengan kaku ketika mempelajari hubungan antara volkanisme dan tektonik di Indonesia (Katili, 1969). Konsep Stilles hanya menunjuk satu daerah orogen, dan van Bemmelen memperluas gagasan itu dan menerapkan hal tersebut ke zona yang mempunyai struktur paralel pada sistem pegunungan Sunda, sesuai dengan teori undasinya.
Variasi komposisi laterit dari magma basal memotong kepulauan Indonesia ke berbagai busur sesuai dengan klasifikasi Kuno (1966), kedalaman yang berbeda akan memproduksi magma yang berbeda. Hartheron dan Dickinson (1969) menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat korelasi antara peningkatan K2O dalam produk gunungapi yang baru dengan kedalaman zona Benioff. Withford dan Nichols menyimpulkan bahwa kandungan K2O batuan dari gunungapi tunggal di Jawa normalnya memberikan hubungan garis lurus apabila dirajahkan dengan zona Benioff.
Perbedaan kenampakan geologis, geofisik dan kegunungapian Sumatera dan Jawa terjadi karena perbedaan arah gerak ke utara dari lempeng India-Australia, dan perbedaan evolusi penurunan slab. Ini didukung fakta bawa zona magmatik di Sumatera dan Jawa mempunyai pola berbeda (Katili, 1973). Gunungapi di busur Jawa dan Banda menunjukkan dengan jelas efek dari proses ini.
Gunungapi potasik yang hadir di utara Jawa, utara Flores maupun Sumbawa tidak dijumpai di Sumatera. Ini dapat diterangkan bahwa penetrasi terdalam dari litosfer di Jawa dan Flores dapat mencapai 400 dan 700 km. Ketidakadaan gunungapi di Alor, Wetar dan Romang telah dijelaskan oleh adanya penghentian subduksi di busur subduksi Timor (Katili, 1974). Jika gunungapi ini masih berhubungan dengan subduksi Timor, maka perlu ada kesimpulan lain: seberapa jauh subduksi yang padam mempengaruhi keaktifan gunungaapi seperti terjadi di Una-una di teluk Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Fitc (1970) menunjukkan bahwa walaupun tidak ada bukti dari mekanisme lokal untuk mendukung keberadaan undertusting sepanjang ujung timur busur Sunda, zona Benioff ada di zona ini. Penghentian zona subduksi oleh ketidakadaan undertrusting tidak harus menunjukkan penghentian gerak litosfer di bagian dalam.
Gunungapi alkali kapur di busur Banda cenderung sejajar dengan palung Timor-Seram, dan berakhir dengan tidak beraturan di Seram. Zona subduksi berakhir di utara Buru dan berubah menjadi bagian luar sisi selatan dari zona sesar Palu Koro. Tidak ada gunungapi aktif yang hadir di antara pulau Buru dan lengan tenggara Sulawesi sebagai representasi lingkungan sesar transform.
Di lengan barat Sulawesi, gunungapi aktif Kenozoikum akhir hadir di ujung selatan pulau, di teluk Gorontalo sebagai gunungapi Una-una serta di wilayah Minahasa dan Sangihe. Posisi tektonik dari gunungapi potasik di Sulawesi selatan ini tidak jelas zona Benioff yang terjadi pada penyusupan di Pulau Jawa
Gunungapi Una-una memproduksi batuan seri alkali menengah, dan tidak ada hubungannya dengan gunungapi-gunungapi alkali kapur yang terdapat di Sangihe dan Minahasa (Katili, 1960). Gunungapi berhubungan dengan adanya zona subduksi yang miring ke arah selatan yang telah patah, seperti dikemukakan Hamilton (1970). Kandungan potas yang tinggi sesuai dengan keberadaan zona subduksi itu. Gunungapi-gunungapi aktif alkali kapur dari kelompok Minahasa-Sangihe dapat berhubungan dengan zona subduksi yang miring ke arah barat, yang sejajar dengan jalur volkanik ini .
Kenampakan menarik lain yang dikemukakan oleh van Bemmelan adalah adanya plato basal di Lampung, Karimunjawa, Miut (Kalimantan Barat) dan Mindai (Paparan Sunda) yang sangat alkalis (Hutchinson, 1973). Di Sumatera tidak dijumpai gunungapi potasik dan litosfer tidak mempunyai kedalaman lebih dari 200 km. Boleh jadi keberadaannya di Kalimantan Barat, kepulauan paparan Sunda atau di Malaysia tidak berkaitan dengan zona subduksi yang ada di sebelah selatan, tetapi dihubungkan dengan zona subduksi yang lain. Hal tersebut juga tidak dijumpai di Selat Makassar dan Laut Cina. Hutchison (1973) mengemukakan hubungan basal tersebut ke deep extension faulting sebagai interaksi lempeng-lempeng Eurasia, Samudra India-Australia dan Pasifik.
Adalah menarik untuk dicatat bahwa basal alkali Karimunjawa dan Sukadana diposisikan sebagai batuan dasar yang terangkat. Busur Karimunjawa, menurut Nayoan (1973) merupakan komplek batuan sedimen klastik dengan ketebalan lebih dari 1.000 m, terdiri dari batupasir kwarsa yang termetamorfkan berumur Kwarter, yang tertutup batuan basalan. Tinggian Lampung yang ditutup oleh basal Sukadana yang berasal dari geneis pra Tersier dan amfibolit yang diintrusi oleh batuan granit berumur Kapur (Katili, 1973). Pemikiran spekulatif pemunculan batuan basal alkali ini diinterpretasikan sebagai gunungapi aktif oleh hot spot yang tidak dapat dihubungkan dengan zona-zona subduksi dan pengangkatan. Jika asumsi ini benar, maka kita harus menerima kenyataan bahwa dataran Sunda telah berproses berjuta-juta tahun (Wilson, 1972) Volkanisma Tersier
Lokasi geografi kepulauan-kepulauan timur Indonesia sebelum interaksi Lempeng-lempeng Eurasia, India-Australia dan Pasifik direkontruksikan berdasarkan pada analisis kinematik kerangka tektonik kepulauan Indonesia seperti telah didiskusikan paparan terdahulu.
Batuan volkanik Tersier di lengan barat daya Sulawesi meliputi trakit, batuan piroklastik, dasit, andesit, lava dan endapan lahar yang sebagian telah terkonsolidasi. Batuan ini terdapat di Pare-pare dan di sepanjang zona sesar Palu.
Batuan volkanik basa menghadirkan bentuk basal dan spilit. Umur batuan yang tidak diketahui hanya batuan volkanik Donggala di Sulawesi Tengah yang dianggap sebagai fasies volkanik berumur Eosen Formasi Tinombo.
Batuan granit di bagian selatan Sulawesi mempunyai umur yang berkisar 5 x 106 sampai 8,6 x 106 juta tahun, sekitar Pliosen Awal sampai Miosen Akhir. Batuan beku gunungapi berumur Tersier Awal di lengan utara Sulawesi telah diselidiki secara dengan rinci oleh Trail dkk (1974)
Formasi Dolokopa yang berumur Miosen Awal sampai Akhir mengandung andesit yang berlapis dengan graywacke dan batugamping. Volkanik Bilungala pada Miosen Awal sampai Pliosen di dekat Gorontalo mengandung andesit, dasit dan riolit. Breksi Wobudu berumur Miosen sampai Pliosen terdiri dari aglomerat andesit, tufa dan beberapa dasit serta basal. Gunungapi Pani yang diperkirakan berumur Pliosen, terdiri dari dasit, riolit, dan andesit yang terdiri dari batuan gunungapi dengan nama gunungapi Pinogu yang berumur Pliosen Akhir sampai Plistosen, mengandung andesit, dasit tuf dan aglomerat. Tidak ada penanggalan radiometrik dilakukan terhadap batuan granit di kawasan ini, tetapi indikasi hubungan di lapangan menurut Trail dkk (1974) berkisar antara Pliosen (granodiorit Bumbulan) sampai Miosen (diorit Bone dan Bolihuto). Hal ini mungkin berhubungan dengan zona subduksi dari gunungapi Miosen di lengan utara dan lengan timur Sulawesi.
Batuan volkanik dan granitik berumur Pliosen akhir di Gorontalo boleh jadi desebabkan oleh subduksi minor yang terletak di barat laut Sulawesi yang terjadi akibat bergeraknya sistem sesar Sorong ke arah barat. Volkanisma Pra Tersier
Batuan volkanik Kabur di Pegunungan Gumai mengandung dua fasies yang berbeda (Musper, 1937). Seri Saling yang mengandung tufa, batuan breksi volkanik kasar, aliran lava berkomposisi basalan dan andesitan dan batugamping terumbu. Seri Lingsing yang berisi formasi monoton dari lapisan tipis asam dan lempung dengan rijang radiolaria. Batuan volkanik berumur Kapur Atas mempunyai kisaran umur 169 ± 7 sampai 171 ± 3 juta tahun.
Volkanisme Perm terjadi di sepanjang Sumatera. Kejadian pada dataran tinggi Padang, Sumatera Tengah dan Jambi dirincikan dengan baik oleh Klompe dll (1961). Di Sumatera Tengah batuan volkanik mengandung aliran andesit horblenda, andesit augit dan tufa dengan interkalasi serpih asam dan batugamping yang mengandung fosil berumur Perm. Model tektonik lempeng memerlukan eksistensi granit Perm di Sumatera. Berdasarkan penentuan radiometri granit Paleozoikum di Sumatera Selatan dan Tengah berumur 276 – 298 juta tahun.
Batuan volkanik basalan dan andesit yang melimpah dideskripsikan oleh Klompee (1961) di Kalimantan Barat dan Malaysia Timur. Sebaran batuan volkanik andesitan dan riolitik yang melimpah merupakan ciri khas semanjung Malaysia Timur (Hutchinson, 1973)
Kesesuaian zona subduksi gunungapi Sumatera berumur Perm yang menyusup ke benua Asia dengan zona Benioff purba yang berasosiasi dengan volkanik Malaysia – Borneo, yang menyusup ke arah Samudra India. Kejadian ini tidak sesuai dengan sistem palung busur yang telah dirincikan oleh Katili (1973) dan diperkuat oleh Hutchinson (1973) Pupilli (1973). Alkali granit yang melimpah dengan umur yang berbeda di Kalimantan barat nampak mendukung keberadaan postulat yang menolak adanya zona subduksi ini.
Kejadian lain menyebutkan bahwa volkanisma Perm di Timor, didiskusikan oleh Roever (1941). Batuan di sini mengandung basal olivin, traki basal, traki alkali dan alkali riolit yang lebih tua dari ofiolit Timor, yang selama ini dikenal sebagai kegiatan volkanik di awal geosinklin. Kenampakan gologis, komposisi dan umur gunungapi tersebut menunjukkan bahwa bukan busur volkanik Perm.
Bentuk busur Banda yang melengkung, serta Sulawesi dan Halmahera yang ganjil terjadi karena gerak benua Australia dan Papua ke arah utara, yang dikombinasikan oleh gaya dorong Lempeng Pasifik ke arah barat (Katili, 1973). Hal serupa juga dikemukakan oleh Visser dan Hermes (1962), Audley-Charles dan Carter (1972), dan Gribi (1973). Timor, Seram, Buru dan Buton merupakan sistem busur yang sama berkenaan dengan kesamaan tatanan geologinya yang berasal dari hasil penunjaman Lempeng Samudra India-Australia.
Sulawesi pada zaman Mesosoikum kaya batuan metamorf, kecuali Buton dan Seram. Bagian tenggara Sulawesi mengandung ofiolit yang diperoleh dari lempeng samudra dengan endapan nikel dan krom, sedang Buton, Seram dan Timor menunjukkan perlapisan yang mengandung hidrokarbon.
Busur dalam volkanik Sangihe dan busur luar non-volkanik Talaud cenderung sejajar berarah utara-selatan. Punggungan Talaud meluas sampai Mayu dan menerus ke lengan timur Sulawesi. Punggungan bawah laut Mayu di Laut Maluku menunjukkan gaya berat minimum yang diduga merupakan akumulasi endapan-endapan opak dari sisa subduksi tua.
Bentuk dua lengan Sulawesi timur dan Halmahera dapat disebandingkan dengan dua anak panah yang bergerak ke barat. Ini telah diketahui cukup lama bahwa lengan timur yang cembung ke arah barat terdiri dari ofiolit, dan busur barat terdiri dari gunungapi aktif, yang di Sulawesi telah padam pada zaman Kwarter. Sulawesi dan Halmahera merupakan busur kepulauan yang mengarah ke utara selatan yang cembung ke arah Pasifik dengan zona subduksi Sulawesi-Maluku yang miring ke barat.
Pergerakan Lempeng Pasifik ke arah barat yang mengikuti sistem sesar transform menjelaskan kompleksitas tatanan geologi kawasan Sulawesi-Halmahera. Selama pergerakan ini pulau Banggai dan Buton dibawa ke arah timur laut. Pergerakan Banda ke arah timur-barat hanya merupakan pelenturan, tidak membuat sesar besar sepertihalnya di Papua dan Sulawesi. Volkanisme Kenozoikum Sampai Resen
Daerah ini mempunyai tiga fase evolusi magmatik, seperti dikemukakan oleh Stilles sebagai “initialer vlkanismus”, “synorogener putonismus” atau “subsequenter vlkanismus” dan “finaler vlkanismus”. Tetapi konsep ini tidak dapat diterapkan dengan kaku ketika mempelajari hubungan antara volkanisme dan tektonik di Indonesia (Katili, 1969). Konsep Stilles hanya menunjuk satu daerah orogen, dan van Bemmelen memperluas gagasan itu dan menerapkan hal tersebut ke zona yang mempunyai struktur paralel pada sistem pegunungan Sunda, sesuai dengan teori undasinya.
Variasi komposisi laterit dari magma basal memotong kepulauan Indonesia ke berbagai busur sesuai dengan klasifikasi Kuno (1966), kedalaman yang berbeda akan memproduksi magma yang berbeda. Hartheron dan Dickinson (1969) menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat korelasi antara peningkatan K2O dalam produk gunungapi yang baru dengan kedalaman zona Benioff. Withford dan Nichols menyimpulkan bahwa kandungan K2O batuan dari gunungapi tunggal di Jawa normalnya memberikan hubungan garis lurus apabila dirajahkan dengan zona Benioff.
Perbedaan kenampakan geologis, geofisik dan kegunungapian Sumatera dan Jawa terjadi karena perbedaan arah gerak ke utara dari lempeng India-Australia, dan perbedaan evolusi penurunan slab. Ini didukung fakta bawa zona magmatik di Sumatera dan Jawa mempunyai pola berbeda (Katili, 1973). Gunungapi di busur Jawa dan Banda menunjukkan dengan jelas efek dari proses ini.
Gunungapi potasik yang hadir di utara Jawa, utara Flores maupun Sumbawa tidak dijumpai di Sumatera. Ini dapat diterangkan bahwa penetrasi terdalam dari litosfer di Jawa dan Flores dapat mencapai 400 dan 700 km. Ketidakadaan gunungapi di Alor, Wetar dan Romang telah dijelaskan oleh adanya penghentian subduksi di busur subduksi Timor (Katili, 1974). Jika gunungapi ini masih berhubungan dengan subduksi Timor, maka perlu ada kesimpulan lain: seberapa jauh subduksi yang padam mempengaruhi keaktifan gunungaapi seperti terjadi di Una-una di teluk Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Fitc (1970) menunjukkan bahwa walaupun tidak ada bukti dari mekanisme lokal untuk mendukung keberadaan undertusting sepanjang ujung timur busur Sunda, zona Benioff ada di zona ini. Penghentian zona subduksi oleh ketidakadaan undertrusting tidak harus menunjukkan penghentian gerak litosfer di bagian dalam.
Gunungapi alkali kapur di busur Banda cenderung sejajar dengan palung Timor-Seram, dan berakhir dengan tidak beraturan di Seram. Zona subduksi berakhir di utara Buru dan berubah menjadi bagian luar sisi selatan dari zona sesar Palu Koro. Tidak ada gunungapi aktif yang hadir di antara pulau Buru dan lengan tenggara Sulawesi sebagai representasi lingkungan sesar transform.
Di lengan barat Sulawesi, gunungapi aktif Kenozoikum akhir hadir di ujung selatan pulau, di teluk Gorontalo sebagai gunungapi Una-una serta di wilayah Minahasa dan Sangihe. Posisi tektonik dari gunungapi potasik di Sulawesi selatan ini tidak jelas zona Benioff yang terjadi pada penyusupan di Pulau Jawa
Gunungapi Una-una memproduksi batuan seri alkali menengah, dan tidak ada hubungannya dengan gunungapi-gunungapi alkali kapur yang terdapat di Sangihe dan Minahasa (Katili, 1960). Gunungapi berhubungan dengan adanya zona subduksi yang miring ke arah selatan yang telah patah, seperti dikemukakan Hamilton (1970). Kandungan potas yang tinggi sesuai dengan keberadaan zona subduksi itu. Gunungapi-gunungapi aktif alkali kapur dari kelompok Minahasa-Sangihe dapat berhubungan dengan zona subduksi yang miring ke arah barat, yang sejajar dengan jalur volkanik ini .
Kenampakan menarik lain yang dikemukakan oleh van Bemmelan adalah adanya plato basal di Lampung, Karimunjawa, Miut (Kalimantan Barat) dan Mindai (Paparan Sunda) yang sangat alkalis (Hutchinson, 1973). Di Sumatera tidak dijumpai gunungapi potasik dan litosfer tidak mempunyai kedalaman lebih dari 200 km. Boleh jadi keberadaannya di Kalimantan Barat, kepulauan paparan Sunda atau di Malaysia tidak berkaitan dengan zona subduksi yang ada di sebelah selatan, tetapi dihubungkan dengan zona subduksi yang lain. Hal tersebut juga tidak dijumpai di Selat Makassar dan Laut Cina. Hutchison (1973) mengemukakan hubungan basal tersebut ke deep extension faulting sebagai interaksi lempeng-lempeng Eurasia, Samudra India-Australia dan Pasifik.
Adalah menarik untuk dicatat bahwa basal alkali Karimunjawa dan Sukadana diposisikan sebagai batuan dasar yang terangkat. Busur Karimunjawa, menurut Nayoan (1973) merupakan komplek batuan sedimen klastik dengan ketebalan lebih dari 1.000 m, terdiri dari batupasir kwarsa yang termetamorfkan berumur Kwarter, yang tertutup batuan basalan. Tinggian Lampung yang ditutup oleh basal Sukadana yang berasal dari geneis pra Tersier dan amfibolit yang diintrusi oleh batuan granit berumur Kapur (Katili, 1973). Pemikiran spekulatif pemunculan batuan basal alkali ini diinterpretasikan sebagai gunungapi aktif oleh hot spot yang tidak dapat dihubungkan dengan zona-zona subduksi dan pengangkatan. Jika asumsi ini benar, maka kita harus menerima kenyataan bahwa dataran Sunda telah berproses berjuta-juta tahun (Wilson, 1972) Volkanisma Tersier
Lokasi geografi kepulauan-kepulauan timur Indonesia sebelum interaksi Lempeng-lempeng Eurasia, India-Australia dan Pasifik direkontruksikan berdasarkan pada analisis kinematik kerangka tektonik kepulauan Indonesia seperti telah didiskusikan paparan terdahulu.
Batuan volkanik Tersier di lengan barat daya Sulawesi meliputi trakit, batuan piroklastik, dasit, andesit, lava dan endapan lahar yang sebagian telah terkonsolidasi. Batuan ini terdapat di Pare-pare dan di sepanjang zona sesar Palu.
Batuan volkanik basa menghadirkan bentuk basal dan spilit. Umur batuan yang tidak diketahui hanya batuan volkanik Donggala di Sulawesi Tengah yang dianggap sebagai fasies volkanik berumur Eosen Formasi Tinombo.
Batuan granit di bagian selatan Sulawesi mempunyai umur yang berkisar 5 x 106 sampai 8,6 x 106 juta tahun, sekitar Pliosen Awal sampai Miosen Akhir. Batuan beku gunungapi berumur Tersier Awal di lengan utara Sulawesi telah diselidiki secara dengan rinci oleh Trail dkk (1974)
Formasi Dolokopa yang berumur Miosen Awal sampai Akhir mengandung andesit yang berlapis dengan graywacke dan batugamping. Volkanik Bilungala pada Miosen Awal sampai Pliosen di dekat Gorontalo mengandung andesit, dasit dan riolit. Breksi Wobudu berumur Miosen sampai Pliosen terdiri dari aglomerat andesit, tufa dan beberapa dasit serta basal. Gunungapi Pani yang diperkirakan berumur Pliosen, terdiri dari dasit, riolit, dan andesit yang terdiri dari batuan gunungapi dengan nama gunungapi Pinogu yang berumur Pliosen Akhir sampai Plistosen, mengandung andesit, dasit tuf dan aglomerat. Tidak ada penanggalan radiometrik dilakukan terhadap batuan granit di kawasan ini, tetapi indikasi hubungan di lapangan menurut Trail dkk (1974) berkisar antara Pliosen (granodiorit Bumbulan) sampai Miosen (diorit Bone dan Bolihuto). Hal ini mungkin berhubungan dengan zona subduksi dari gunungapi Miosen di lengan utara dan lengan timur Sulawesi.
Batuan volkanik dan granitik berumur Pliosen akhir di Gorontalo boleh jadi desebabkan oleh subduksi minor yang terletak di barat laut Sulawesi yang terjadi akibat bergeraknya sistem sesar Sorong ke arah barat. Volkanisma Pra Tersier
Batuan volkanik Kabur di Pegunungan Gumai mengandung dua fasies yang berbeda (Musper, 1937). Seri Saling yang mengandung tufa, batuan breksi volkanik kasar, aliran lava berkomposisi basalan dan andesitan dan batugamping terumbu. Seri Lingsing yang berisi formasi monoton dari lapisan tipis asam dan lempung dengan rijang radiolaria. Batuan volkanik berumur Kapur Atas mempunyai kisaran umur 169 ± 7 sampai 171 ± 3 juta tahun.
Volkanisme Perm terjadi di sepanjang Sumatera. Kejadian pada dataran tinggi Padang, Sumatera Tengah dan Jambi dirincikan dengan baik oleh Klompe dll (1961). Di Sumatera Tengah batuan volkanik mengandung aliran andesit horblenda, andesit augit dan tufa dengan interkalasi serpih asam dan batugamping yang mengandung fosil berumur Perm. Model tektonik lempeng memerlukan eksistensi granit Perm di Sumatera. Berdasarkan penentuan radiometri granit Paleozoikum di Sumatera Selatan dan Tengah berumur 276 – 298 juta tahun.
Batuan volkanik basalan dan andesit yang melimpah dideskripsikan oleh Klompee (1961) di Kalimantan Barat dan Malaysia Timur. Sebaran batuan volkanik andesitan dan riolitik yang melimpah merupakan ciri khas semanjung Malaysia Timur (Hutchinson, 1973)
Kesesuaian zona subduksi gunungapi Sumatera berumur Perm yang menyusup ke benua Asia dengan zona Benioff purba yang berasosiasi dengan volkanik Malaysia – Borneo, yang menyusup ke arah Samudra India. Kejadian ini tidak sesuai dengan sistem palung busur yang telah dirincikan oleh Katili (1973) dan diperkuat oleh Hutchinson (1973) Pupilli (1973). Alkali granit yang melimpah dengan umur yang berbeda di Kalimantan barat nampak mendukung keberadaan postulat yang menolak adanya zona subduksi ini.
Kejadian lain menyebutkan bahwa volkanisma Perm di Timor, didiskusikan oleh Roever (1941). Batuan di sini mengandung basal olivin, traki basal, traki alkali dan alkali riolit yang lebih tua dari ofiolit Timor, yang selama ini dikenal sebagai kegiatan volkanik di awal geosinklin. Kenampakan gologis, komposisi dan umur gunungapi tersebut menunjukkan bahwa bukan busur volkanik Perm.
Pembaruan Model Tektonik Indonesia
Model tektonik lempeng Indonesia dalam satu pola konvergen telah dibuat oleh Hamilton (1970) dan Katili (1971). Sistem busur subduksi Sumatera dibentuk oleh penyusupan lempeng samudra di bawah lempeng benua. Lempeng benua tebal dan tua ini meliputi busur volkanik berumur Perm, Kapur dan Tersier (Katili, 1973). Sedimen elastis sangat tebal menyusup di subduksi Sumatera (Hamilton, 1973) dan sedimen yang tebal didorong ke atas membentuk rangkaian kepulauan. Batuan magmatik yang dibentuk di atas zona Benioff selalu mempunyai karakter asam dan menengah.
Sistem subduksi Jawa dibentuk oleh subduksi lempeng samudra di bawah lempeng benua. Lempeng ini tipis dan berumur muda, serta seluruhnya hampir terdiri dari batuan volkano-plutonik berumur Tersier (Katili, 1973). Beberapa ignimbrit dijumpai di Jawa. Batuan magmatik kebanyakan menengah. Lempeng samudra di selatan subduksi tertutup sedimen pelagis dengan ketebalan 200 m (Hamilton, 1973).
Sistem subduksi Timor menunjukkan karakter yang berbeda. Dua fase yang berbeda dapat dirincikan dalam perkembangan busur Banda. Pada tahap awal, lempeng samudra India-Australia disusupkan dibawah lempeng samudra Banda. Tahap berikutnya diikuti oleh subduksi lempeng benua Australia ke zona subduksi busur Banda, sebagai akibat gerakan menerus lempeng Australia ke utara. Hasil dari penurunan zona subduksi aktif ini adalah tidakadanya gunungapi aktif di pulau Alor, Wetar dan Romang. Jika asumsi ini benar, maka perlu dicari material mantel (ofiolit) di endapan tua Timor, serta sedimen darat di endapan-endapan Plio-Plistosen
Batuan magmatis yang dibentuk di atas zona Benioff Timor cenderung menengah dan basa. Lempeng di sini tipis dan muda dan diapit oleh lempeng benua. Ketebalan sedimen di zona subduksi Timor saat ini sekitar 8000 kaki, dengan kondisi yang relatif terganggu oleh sesar tensional yang dapat diamati.
Busur Sumatera, Jawa dan Banda menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh elemen-elemen lempengnya. Lempeng yang tua dan tebal akan membentuk rangkaian pulau-pulau besar dengan sifat gunungapi asam sampai menengah, sedang lempeng yang muda dan tipis akan membentuk pulau-pulau kecil dengan sifat gunungapi menengah sampai basa.
Dalam zona subduksi Tersier di Kalimantan barat-laut jarang ditemukan elemen-elemen eugeosinklin seperti ofiolit, rijang, lempung merah. Flish berumur Kapur Atas – Eosen Atas yang berkembang sedikit atau tidak mengandung rijang dan ofiolit, sehingga menunjukkan adanya subduksi sangat miring (Haile, 1972).
Zona subduksi kapur di Jawa Tengah yang menerus ke Pegunungan Meratus di Kalimantan menunjukkan karakteristik dari batuan bancuh tipe Fransiscan (Sukendar, 1974) dan bentuknya yang mengarah ke subduksi Lempeng Samudra India-Australia,
Busur luar non-volkanik Indonesia ditafsirkan sebagai zona subduksi Tersier (Hamilton, 1970; Katili, 1973), dengan berbagai jenis petro-tektonik yang dapat dibedakan. Pulau-pulau di pantai barat Sumatera ditandai oleh flish tebal dengan sedikit ofiolit.
Di pulau Timor, Seram, Buru dan Buton, sejumlah besar material sedimen klastik ditemukan. Sedimen Plio-Pleistosen hampir seluruhnya mempunyai karakter sedimen dan sedikit ofiolit.
Zona Subduksi Tersier dari Sulawesi Timur menunjukkan bahwa lapisan tipis sedimen pelagis mengisi palung. Hal yang sama terjadi di sekitar Halmahera dan pulau kecil disekitarnya.
Sistem subduksi Jawa dibentuk oleh subduksi lempeng samudra di bawah lempeng benua. Lempeng ini tipis dan berumur muda, serta seluruhnya hampir terdiri dari batuan volkano-plutonik berumur Tersier (Katili, 1973). Beberapa ignimbrit dijumpai di Jawa. Batuan magmatik kebanyakan menengah. Lempeng samudra di selatan subduksi tertutup sedimen pelagis dengan ketebalan 200 m (Hamilton, 1973).
Sistem subduksi Timor menunjukkan karakter yang berbeda. Dua fase yang berbeda dapat dirincikan dalam perkembangan busur Banda. Pada tahap awal, lempeng samudra India-Australia disusupkan dibawah lempeng samudra Banda. Tahap berikutnya diikuti oleh subduksi lempeng benua Australia ke zona subduksi busur Banda, sebagai akibat gerakan menerus lempeng Australia ke utara. Hasil dari penurunan zona subduksi aktif ini adalah tidakadanya gunungapi aktif di pulau Alor, Wetar dan Romang. Jika asumsi ini benar, maka perlu dicari material mantel (ofiolit) di endapan tua Timor, serta sedimen darat di endapan-endapan Plio-Plistosen
Batuan magmatis yang dibentuk di atas zona Benioff Timor cenderung menengah dan basa. Lempeng di sini tipis dan muda dan diapit oleh lempeng benua. Ketebalan sedimen di zona subduksi Timor saat ini sekitar 8000 kaki, dengan kondisi yang relatif terganggu oleh sesar tensional yang dapat diamati.
Busur Sumatera, Jawa dan Banda menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh elemen-elemen lempengnya. Lempeng yang tua dan tebal akan membentuk rangkaian pulau-pulau besar dengan sifat gunungapi asam sampai menengah, sedang lempeng yang muda dan tipis akan membentuk pulau-pulau kecil dengan sifat gunungapi menengah sampai basa.
Dalam zona subduksi Tersier di Kalimantan barat-laut jarang ditemukan elemen-elemen eugeosinklin seperti ofiolit, rijang, lempung merah. Flish berumur Kapur Atas – Eosen Atas yang berkembang sedikit atau tidak mengandung rijang dan ofiolit, sehingga menunjukkan adanya subduksi sangat miring (Haile, 1972).
Zona subduksi kapur di Jawa Tengah yang menerus ke Pegunungan Meratus di Kalimantan menunjukkan karakteristik dari batuan bancuh tipe Fransiscan (Sukendar, 1974) dan bentuknya yang mengarah ke subduksi Lempeng Samudra India-Australia,
Busur luar non-volkanik Indonesia ditafsirkan sebagai zona subduksi Tersier (Hamilton, 1970; Katili, 1973), dengan berbagai jenis petro-tektonik yang dapat dibedakan. Pulau-pulau di pantai barat Sumatera ditandai oleh flish tebal dengan sedikit ofiolit.
Di pulau Timor, Seram, Buru dan Buton, sejumlah besar material sedimen klastik ditemukan. Sedimen Plio-Pleistosen hampir seluruhnya mempunyai karakter sedimen dan sedikit ofiolit.
Zona Subduksi Tersier dari Sulawesi Timur menunjukkan bahwa lapisan tipis sedimen pelagis mengisi palung. Hal yang sama terjadi di sekitar Halmahera dan pulau kecil disekitarnya.
Sabtu, 07 Januari 2012
Batuan Dasar Cekungan Sumatera Selatan
Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit mengintrusi batuan filit.
Formasi Lahat
Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa. Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu : Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m. Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh kuarsa. Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar. Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa. Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu : Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m. Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh kuarsa. Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar. Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m – 850 m.
Formasi Baturaja
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal.
Formasi Gumai
Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah.
Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150 m - 2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah.
Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.
Formasi Kasai
Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan
Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng Hindia. Secara Geografis Sub Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh di sebelah utara, Tinggian Lampung di bagian selatan, Paparan Sunda di sebelah timur, dan Bukit Barisan di sebelah barat.
Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan kipas alluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja) pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut dalam.
Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan, pumice dan konglemerat
Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan De Coster (1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan kipas alluvial dan endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan. Fase transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja) pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut dalam.
Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan diikuti oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan, pumice dan konglemerat
Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.
Tektonik Regional
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
Tektonik Regional
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
Langganan:
Postingan (Atom)
SISTEM INISIASI PELEDAKAN (Blast Initiation System)
Inisiator merupakan suatu istilah yang diguanakan oleh perusahaan (industri) bahan peledakn untuk mendeskripsikan peralatan yang dapat dig...
-
Kompas Geologi Dalam aktivitas lapangan bagi geologist tentunya dibutuhkan skill dan berbagai peralat...
-
Magmatic Concentration (Pengayaan Magma ) Terbentuknya bahan galian karena adanya diff dari magma. Magma sebagai cairan panas dan pi...
-
Pengertian Teksture Batuan Beku Pengertian tekstur batuan mengacu pada kenampakan butir-butir mineral yang ada di dalamnya, yang m...