Jumat, 11 November 2011

Batu Bara untuk Pesawat Tempur


Angkatan Udara Amerika Serikat segera meninggalkan bahan bakar minyak.


Cascade County -- Pesawat pengebom siluman berbahan-bakar batu bara? Jangan bayangkan seorang co-pilot mengeruk batu bara dengan sekop ke mesin tungku seperti kereta api zaman koboi. Ini sungguhan. Pekan lalu, Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) merilis rencana ambisius untuk menyingkirkan minyak bumi, yang selama ini menjadi sumber bahan bakar mesin-mesin perang mereka, dan menggantinya dengan batu bara.

Sebagai rencana awal, USAF akan membangun fasilitas domestik konversi batu bara menjadi bahan bakar sintetis di Pangkalan Udara Malmstrom, Montana. Fasilitas itu diharapkan menjadi pusat konversi batu bara terbesar di negara tersebut.

Tujuan kebijakan ini adalah mengamankan kepentingan nasional Amerika, dengan mengurangi ketergantungan pada impor minyak dari negara lain. Pada 2006, USAF menghabiskan 3,2 miliar galon atau 12 miliar liter bahan bakar minyak. Jumlah itu mencapai 79 persen dari seluruh kebutuhan bahan bakar minyak militer Amerika Serikat. Hanya, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar Angkatan Udara, pemerintah harus merogoh kocek sekitar US$ 7,8 miliar.

Jumlah tersebut terus membengkak seiring dengan tren naiknya harga minyak dunia. Repotnya, produksi minyak Amerika Serikat hanya sanggup memenuhi 35 persen kebutuhan dalam negerinya. Sisanya, sebanyak 65 persen diimpor dari negara lain, dan 20 persen di antaranya beli dari Arab Saudi.

Ini sangat kontras apabila mengingat kenyataan bahwa Amerika kaya akan batu bara. Negeri Abang Sam berada di urutan pertama negara dengan cadangan batu bara terbesar di dunia, sekitar 246 miliar ton. Sebagai perbandingan, Indonesia--yang merupakan eksportir batu bara terbesar di dunia--diperkirakan hanya memiliki sekitar 5 miliar ton cadangan batu bara. "Kita masih akan membakar bahan bakar fosil untuk jangka waktu yang lama dan kenyataannya, tanah kita memiliki lebih banyak batu bara dibanding minyak bumi," kata Deputi Menteri Muda Angkatan Udara William Anderson. "Tidak sulit dinalarkan, bukan? Wajar kalau kita seharusnya memilih batu bara."

Anderson menyatakan Angkatan Udara tidak akan membiayai, membangun, atau mengoperasikan sendiri fasilitas konversi energi itu. Mereka justru berharap ada investor dalam negeri yang mau berinvestasi membangun fasilitas tersebut. "Angkatan Udara hanya akan menyediakan lahan seluas 700 hektare di wilayah pangkalan untuk membangun fasilitas tersebut," katanya.

Hal lain yang disediakan Angkatan Udara adalah ribuan jet tempur dan peralatan perang lainnya. "Yang tidak kalah penting, kami akan menyediakan diri sebagai konsumen," ujarnya. "Ingat, kami adalah Angkatan Udara Amerika Serikat. Kami akan menjadi konsumen produk bahan bakar terbesar."

Lelang proyek akan dilakukan pada Mei mendatang, dan konstruksinya diharapkan selesai empat tahun setelah Departemen Pertahanan memutuskan pemenang proyek. Angkatan Udara berharap separuh armada perangnya sudah menggunakan bahan bakar sintetis berbasis batu bara pada 2016. "Pada saat itu, kami akan membutuhkan 400 juta bahan bakar," kata Anderson.

Dengan kebutuhan sebesar ini, Anderson yakin permintaan dari sektor swasta, seperti maskapai penerbangan komersial atau perusahaan jasa transportasi laut dan darat, juga ikut meningkat. "Karena kami memiliki ribuan pesawat yang haus bahan bakar, kami akan mampu menciptakan pasar dan permintaan yang besar serta akan mendorong permintaan serupa dari sektor swasta," katanya.

Yang sudah pasti girang atas rencana itu adalah produsen bahan bakar batu bara. Selama ini, mereka kesulitan mengembangkan pasar bagi produk bahan bakar cair berbasis batu bara karena kekhawatiran parlemen akan dampak lingkungannya. Tekanan dampak perubahan iklim sempat membuat rencana membangun beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara di Amerika Serikat kandas.

Rencana USAF ini akan membuat batu bara beroleh kekuatan politik dan ekonomi yang baru. "Inilah konsumen yang sudah lama kami tunggu," kata John Baardson, pemilik Baard Energy, perusahaan batu bara yang berbasis di Vancouver. "Angkatan Udara Amerika Serikat akan menjadi agen perubahan bagi seluruh industri batu bara di Amerika Serikat dan dunia."

Menurut Baardson, kebutuhan Angkatan Udara begitu besar, sehingga tidak akan cukup hanya disuplai oleh satu fasilitas. Untuk memenuhi kebutuhan itu, dibutuhkan beberapa pabrik yang menyuplai bahan bakar cair batu bara. "Untuk sekadar memenuhi kebutuhan mereka, industri batu bara Amerika Serikat harus bersatu," katanya.

Pabrik produsen bahan bakar batu bara cair di Pangkalan Udara Malmstrom direncanakan akan memproduksi 25 ribu barel bahan bakar batu bara sintetis. Tapi hanya 15 persen yang direncanakan digunakan untuk bahan bakar pesawat. Sisanya dipakai sebagai bahan bakar kapal, truk, kereta, dan nafta, material yang banyak digunakan oleh industri kimia. "Artinya, dibutuhkan minimal tujuh pabrik yang memproduksi bahan bakar batu bara sintetis untuk memenuhi kebutuhan mereka pada 2016," ujar Baardson.

Di Wall Street, para analis masih skeptis terhadap rencana tersebut, meskipun mengakui rencana itu sangat layak dari sisi bisnis. Biaya produksi bahan bakar batu bara cair adalah sekitar US$ 35 per barel. Bahkan, bila produsen mengambil keuntungan dua kali lipat dengan menjualnya seharga US$ 70, harganya masih di bawah harga minyak dunia yang saat ini mencapai US$ 110. "Apa ini teknologi yang layak? Sebenarnya iya," kata analis energi, Gordon Howald. "Tapi orang ingin melihat dulu proyek ini berjalan."

Maklum saja, Amerika belum memiliki pabrik yang memproduksi bahan bakar batu bara cair. Di seluruh dunia, hanya ada dua pabrik yang semuanya berada di Afrika Selatan. Tahun ini, Cina akan mendirikan satu pabrik lagi. "Kalau pabriknya sudah berjalan dan tidak ada keberatan dari parlemen, baru investor akan masuk," kata Howald.

Keberatan dari Capitol Hill memang tampaknya akan jadi batu sandungan, yang mengkhawatirkan dampak lingkungan karena kemungkinan besar bahan bakar berbasis batu bara menimbulkan lebih banyak emisi daripada bahan bakar minyak. "Kami tidak menginginkan energi jenis baru yang justru membuat masalah efek gas rumah kaca semakin parah," kata Ketua Komisi Penilai Kongres Henry Waxman.

Waxman sudah mengirim surat keberatan kepada Menteri Pertahanan Robert Gates, yang menyatakan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar batu bara cair harus diperhatikan. Kongres Amerika Serikat kemungkinan besar akan mengeluarkan aturan bahwa penggunaan bahan bakar sintetis berbasis batu bara untuk militer baru akan diizinkan bila ada bukti bahan bakar tersebut mengeluarkan emisi yang setara atau lebih rendah daripada bahan bakar minyak. "Angkatan Udara mengeluarkan rencana ini dengan alasan keamanan nasional," kata Waxman. "Padahal perubahan iklim juga masalah keamanan nasional."
           
Meski demikian, Anderson tetap optimistis. Dia menyatakan Angkatan Udara akan menjamin bahan bakar ini mendukung program Green Fuel yang dicanangkan Pemerintah Amerika Serikat. "Untuk mengurangi emisi, tinggal dilakukan penambahan bahan campuran sintetis tertentu dan mengurangi takaran batu bara yang digunakan," katanya. "Tenang saja."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SISTEM INISIASI PELEDAKAN (Blast Initiation System)

Inisiator merupakan suatu istilah yang diguanakan oleh perusahaan (industri) bahan peledakn untuk mendeskripsikan peralatan yang dapat dig...