Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan Diplomasi, yaitu perjuangan
melalui meja perundingan.
Adapun perundingan-perundingan
tersebut antara lain :
1.
Pertemuan Ir Soekarno dengan Van Mook
Pertemuan antara wakil-wakil Belanda
dengan wakil Indonesia
diprakarsai oleh Panglima AFNEI yaitu
Letnan Jendral Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. dalam pertemuan tersebut
pihak Indonesia diwakili oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak
Belanda diwakili oleh Van Mook dan Van
Der Plas.
Pertemuan ini merupakan pertemuan
untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Ir. Soekarno mengemukakan
kesediaan Pemerintah Republik Indonesia
untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya
sendiri.
Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangan nya mengenai masalah Indonesia dimasa depan bahwa Belanda ingin
menjalankan untuk Indonesia
menjadi Negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri
di lingkungan kerajaan Belanda.
Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh pemerintah Belanda bahkan Van Mook diancam akan dipecat dari
jabatannya sebagai Gubernur Hindia Belanda ( Indonesia ).
2.
Pertemuan Sjahrir dengan Van Mook
Pertemuan ini dilaksanakan pada
tanggal 17 November 1946 di Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta ( Jalan Imam
Bonjol No. 1 ). Dalam pertemuan ini pihak sekutu diwakili oleh Letnan Jendral Christison, pihak Belanda
diwakili oleh Van Mook, sedangkan
pihak Indonesia
diwakili oleh Perdana Mentri Sutan
Sjahrir.
3.
Perundingan Sjahrir dengan Van Mook
Untuk mempertemukan kembali pihak Belanda
dengan pihak Indonesia,
pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai
penengah.
Perundingan ini dilakukan pada
tanggal 10 Februari 1946. Pada
perundingan tersebut Van Mook
menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sbb :
1)
Indonesia akan dijadikan Negara Commonwealth berbentuk federasi yang
memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda
2)
Urusan dalam
negeri dijalankan Indonesia
sedangkan urusan luar negeri dijalankan pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul
balasan yang berisi antara lain sbb :
1)
Republik Indonesia
harus diakui sebagai Negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia
Belanda
2)
Federasi Indonesia-Belanda
akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan
diserahkan kepada suatu badan federasi
yang terdiri atas orang-orang Indonesia
dengan Belanda.
Pada tanggal 27 Maret 1946 Sultan Sjahrir
mengajukan usul baru kepada Van Mook antara
lain sbb :
1)
Supaya pemerintah
Belanda mengakui kedaulatan de facto
Republik Indonesia
atas Jawa dan Sumatera
2)
Supaya Republik Indonesia
dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat ( RIS )
3)
RIS bersama-sama
dengan Nederland, Suriname,
Curacao, menjadi peserta dalam ikatan
Negara Belanda.
4.
Perundingan di Hooge Veluwe
Perundingan ini dilaksanakan pada
tanggal 14-25 April 1946 di Hooge Veluwe (
Negeri Belanda ), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan yang telah
disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah :
1)
a. Mr. Suwandi
b. dr. Sudarsono
c. Mr. A.K. Pringgodigdo
Ketiga tokoh diatas adalah tokoh yang
mewakili Indonesia
2)
a. Dr. Van Mook
b. Prof. Logemann
c. Dr. Idenburgh
d. Dr. Van Royen
e. Prof. Van Asbeck
f. Sultan Hamid II
g. Surio Sentosa
Ketujuh tokoh diatas adalah tokoh
yang mewakili Belanda
3)
a. Sir Archibald Clark Kerr
Mewakili sekutu atau sebagi penengah
Perundingan yang
berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak
membawa hasil karena Belanda menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta.
5.
Perundingan Linggarjati
Pemerintah Inggris masih memiliki
perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda dengan
mengirim Lord Killearn sebagai pengganti
Prof. Schermerhorn.
Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil
pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah
kediaman Konsul Jendral Inggris di Jakarta. Hasil kesepakatan yaitu antara
lain, sbb :
1) Gencatan senjata diadakan atas dasar
kedudukan militer pada waktu itu dan atas kekuatan militer Sekutu serta Indonesia
2) Dibentuk sebuah komisi bersama
Gencatan senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai kesepakatan di bidang
politik antara Indonesia
dengan Belanda diadakanlah perundingan Linggarjati yang diadakan pada tanggal
10 November 1946 di Linggarati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia
di pimpin oleh Perdana Mentri Sutan
Sjahrir, dengan anggotanya Mr. Moh.
Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto
Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr.
Ali Bordiardjo. Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn.
Hasil perundingan Linggarjati
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947,
yang isinya adalah sbb :
1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan
daerah de facto paling lambat tanggal
1 Januari 1949.
2) Republik Indonesia
dan Belanda akan kerjasama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, dengan
nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
3) Republik Indonesia Serikat dan
Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketuanya.
6.
Perundingan Renville
Perundingan ini diadakan diatas kapal
pengangkat pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “ USS Renville “ yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjong Priok, Jakarta.
Perundingan Renville dimulai pada
tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin,
sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R.
Abdulkadir Widdjojoatmodjo.
Isi perundingan Renville :
1)
Pemerintah
Republik Indonesia mengakui
kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh
kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia
serikat ( NIS )
2)
Akan diadakan
pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk Jawa, Madura, dan
Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan Republik Indonesia atau negara bagian lain
dari Negara Indonesia Serikat.
3)
Tiap negara (
bagian ) berhak tinggal diluar Negara Indonesia Serikat atau menyelenggarakan
hubungan khusus dengan Negara Indonesia Serikat atau dengan Nederland.
7.
Persetujuan Roem-Royen
Pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Bell mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville dan dilanjutkan
dengan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang Ibukota
Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Dengan peristiwa ini Komisi Tiga
Negara ( KTN ) diubah namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (
United Nations Commission for Indonesia
atau UNCI ). Komisi ini bertugas melancarkan perundingan-perundingan antara
Indonesia
dengan Belanda.
Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku ketua delegasi Belanda yang masing-masingnya
memberikan pernyataan sbb :
1) Pernyataan Mr. Moh Roem
a. Mengeluarkan perintah kepada “ Pengikut Republik yang bersenjata “
untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerjasama dalam hal mengembalikan
perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja
Bundar di Den Hagg dengan maksud untuk mempercepat “ penyerahan “ kedaulatan
yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak
bersyarat.
2) Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah
Republik Indonesia ke Yogyakarta
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan
militer dan pembebasan semua tahanan politik
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui
Negara-negara yang berada didaerah-daerah yang dikuasai Republik Indonesia
sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak
akan meluaskan Negara atau daerah dengan merugikan Republik.
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia
sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar
Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
8.
Konferensi Meja Bundar ( KMB )
Sebelum dilaksanakannya KMB
diadakanlah Konferensi Inter-Indonesia antara wakil-wakil Indonesia dengan BFO ( Bijjenkomst voor Federal Overleg ).
Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di Den Hagg ( Belanda ). Sebagai ketua KMB
adalah Perdan Mentri Belanda, Willem
Drees. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Belanda dipimpin oleh
Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi
persetujuan KMB adalah sebagai berikut :
1)
Belanda mengakui
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada Akhir bulan Desember 1949
2)
Mengenai Irian
Barat pengakuannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan
3)
Antara RIS dan
kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda yang akan
diketuai oleh Ratu Belanda.
4)
Segera akan
dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda
5)
Pembentukan
Angkatan Darat Perang RIS ( APRIS )
dengan TNI sebagai intinya.
Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa
pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia
diakui kedaulatannya oleh Belanda.
Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan
di negeri Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Mentri Dr. Willem Drees, Mentri Seberang Lautan
Mr. AM. J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di
Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil
Tertinggi Mahkota AH. J. Lovink
menandatangani naskah pengakuan kedaulatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar